Senin, 22 Desember 2008

Senin, 24 November 2008

Kecewa

Kecewa
Itu yang kurasakan saat mengetahui tiket konser rossa telah habis terjual.
Aku tahu ini qodar Allah. Mungkin lebih baik aku di rumah atau ke tempat lain yang bukan konser. Bagaimanapun itu lahan.
Tapi rasa kecewa itu begitu kuat, sampai air mataku tidak berhenti mengalir, bahkan di depan anak-anak.
Sejak dulu, bertahun-tahun yang lalu, sejak beli kaset albumnya rossa aku ingin menonton konsernya. Rasanya menyenangkan ketika berdua dengan mas Wied membicarakannya.
Tapi sekarang, ketika konser itu benar-benar ada, kami tidak bisa nonton karena kehabisan tiket.
Tapi ya sudahlah.
Apa yang bisa dilakukan seorang hamba bila Tuannya punya kehendak?
Mungkin lain kali, Allah memberikan ganti untuk kecewa yang kuikhlaskan hari ini.

Senin, 27 Oktober 2008

Lebaran tahun ini


SELAMAT LEBARAN!
“Taqobalallahu minna wa minkum.. Selamat Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin. Ningrum Wijayanto n kel.”
Itu adalah bunyi sms yang kutuliskan untuk orang-orang yang aku kenal dan kutahu nomor hpnya. Tidak ada kata-kata istimewa atau yang berbunga-bunga. Pokoknya ucapan selamat idul fitri dan permohonan maaf.

Ada yang sampai, ada yang tidak.
Ada yang berbalas, ada juga yang tidak.
Lebaran, dari tahun ketahun selalu istimewa. Dan mau tidak mau (biasanya sih selalu mau), rasanya harus selalu mudik ke rumah orangtua. Pernah kami tidak mudik, dan ketika malam takbiran, mendengar takbir berkumandang, rasanya hati begitu nelangsa. Setelah sholat Ied, keliling ke rumah tetangga yang juga tidak pulang, akhirnya malah jadi bertangis-tangisan. Bukan karena ingat dosa, tapi karena tidak mudik.
Berenam (aku, mas wijay, Bagus, Alya dan 2 orang pembantu -yang seorang pembantu tetangga, nebeng) pulang tanggal 25 september. Sementara Sekar dan Yudha sudah berangkat lebih dulu tanggal 21 september, bareng Pakde Win dan Bude Ninik, kakak sulungku yang tinggal di semarang.
Di Yogya kami sempat jalan-jalan ke ketep, tempat pengamatan gunung merapi dan gunung-gunung yang lainnya bersama kakak-kakakku. Dari sana kami ke candi borobudur. Hebatnya Sekar dan Yudha tetap berpuasa sehari penuh walau kepanasan dan kecapekan.Tahun ini Yudha pol sebulan penuh puasanya. Sekar batal 2 hari karena sakit. Kalau Bagus karena merasa masih kecil, belum mau puasa. Padahal tahun sebelumnya dia berhasil 1 hari puasa sehari penuh.
Yang berbeda dari saat mudik yng lain, kali ini aku bisa bertemu dengan 2 sahabatku sejak kuliah dulu. Tri Wahyuningsih dan Oka Kurniasih. Oka datang ke Yogya, ke rumah mertuanya dari Bangka, setelah mungkin sekitar 10 thn tidak pernah menginjak Yogya. Tri tinggal di Yogya, tapi kami jarang ketemu. Terakhir kami bertemu sebelum ini adalah ketika anak keduanya masih kecil. Sekarang anaknya 4.
Di Yogya kami menikmati lezatnya buka puasa dengan ikan bakar di Pujabantara, restorannya mas Imad, keponakanku, putera mbak Nik dan mas Win. Dan malamnya anak-anak bergembira melihat pawai di dekat pasar kotagede.
Sehari setelah sholat Ied kamipun berangkat ke menjing.Sampai di Menjing, anak-anak segera akrab bermain dengan saudara-saudara mereka.
Kata Sekar, “Kalau di Menjing enak banyak petualangannya. Kalau di Yogya enak bisa malas-malasan (sambil baca buku).”
Yah...begitulah. Bedanya kotagede dan menjing. Di kotagede seolah segalanya serba mudah dan enak. Di menjing segalanya dinamis.Anak-anakpun bergembira karena selama di Menjing mereka bisa mandi di kali, naik-naik ke puncak gunung dan lain-lainnya. Sampai menjelang saat pulang kembali ke alam nyata... eh, ke bekasi.
COBAAN
“Karunia Allah akan terasa nikmat ketika telah meninggalkan kita.”Lebaran kali ini adalah istimewa buat kami.
Kalau biasanya mudik lebaran boleh dibilang berjalan sesuai rencana, kali ini berbeda.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apakah kalian merasa telah beriman pada Allah, sementara kalian tidak mendapat cobaan?” (terjemahan bebas).
Kami yang merasa sebagai orang yang beriman, kali ini mendapat giliran dicoba oleh Allah.
Buatku cobaan ini bukan main-main.
Ketika berangkat ke Semarang, Alya sariawan. Aku sendiri karena salah makan jadi diare. Oleh mas Win aku diantar ke klinik untuk berobat. Alhamdulillah membaik. Setelah sampai di Yogya dan Ugik, asisten pribadiku (cie... maksudnya PRTku) pulang ke rumahnya, hampir semalaman aku tidak tidur menggendong Alya. Padahal saat itu walau telah sembuh dari diare, kondisiku kurang baik karena sedang haid. (Banjir bo! Dan sakitnya minta ampun deh. Soalnya tanpa mengurusi anak sekalipun, mengurusi diri sendiri aja rasanya sudah kelenger karena aku punya miom yang mengakibatkan sakit luar biasa saat haid.) Tapi aku bersyukur -bersyukur banget karena Allah memberiku kekuatan dan keikhlasan walau berderai air mata masih bisa menggendong-gendong Alya. Alhamdulillah setelah minum obat kondisi Alya berangsur baik.
Sesampainya di Menjing, hari kamis, gantian aku yang sakit. Awalnya sih masih tahan. Aku berobat ke bidan, bersama suami yang sakit tenggorokan dan Sekar yang demam. Tapi malam sabtu, kembali aku tidak bisa tidur karena kepalaku berdenyut-denyut, sakit sekali. Aku hanya bisa menangis, tapi alhamdulillah, masih bisa bersyukur. Alhamdulillah aku sakit di sini (di rumah mertua), ada suami dan anak-anak dan saudara-saudara (walau saat itu aku terjaga sendirian, yang lain tidur). Coba kalau aku sakit di jalanan, tanpa tempat tinggal dan sanak-saudara, apa tidak lebih menderita? Dini hari Alya bangun. Alhamdulillah walau ngajak main-main, Alya tidak rewel, dan aku masih bisa menemaninya. Setelah minum susu, dia tidur lagi.
Paginya aku diantar mas Wijayke rumah sakit. Saat itu rasanya aku seperti 'mahluk lain yang setengah menginjak bumi'. Suara-suara terdengar jauh.

Sampai RS turun dari mobil aku duduk di kursi roda di dorong ke UGD. Yang terlintas dalam pikiranku, “Ibu, aku berada di negeri antah-berantah...” (begitu deh kalau sedang sakit yang teringat adalah Ibu.)
Aku di tes darah. Eh, waktu sudah ditusuk jarum suntik di lengan dekat siku, darah nggak keluar. Akhirnya pindah ke dekat pergelangan tangan. Setelah siang aku baru tahu hasilnya, HB-ku drop ke angka 6. Normalnya 12 – 10. Aku harus transfusi minimal 2 kantong. Selain itu tipoidku juga tinggi. 600. Padahal normalnya negatif.
Jadilah orang-orang, terutama Mas Gono, kakak sulung mas Wijay sibuk mencarikan darah buatku karena persediaan darah golongan A di PMI Sragen dan sekitarnya kosong. Mbak Nik, kakakku, di Yogya juga kubuat sibuk. Tapi karena jauh, ya tidak bisa segera ke Sragen, walaupun donornya ada.

Alhamdulillah Mas Gun, kakak Mas Wijay yang lain bersedia mendonor. Lalu yang satu lagi didapat dari teman ngaji mas Slamet, suami Mbak Is, kakak suamiku yang lain lagi.(Enaknya punya keluarga besar... Alhamdulillah)
Aku jadi seperti vampir, mengisap darah dua orang korban (hii...syerem ).
Semalaman darah menetes dari kantong ke dalam tubuhku. Pagi hari, menjelang isi kantong habis, tubuhku merasa sehat. Jadi pagi-pagi aku mandi. Segarnya setelah hampir dua hari tidak mandi... Setelah mandi, kantong darah diganti infus karena darahnya sudah habis. Tidak langsung kantong darah kedua, kata perawat supaya darahnya tidak menggumpal.
Setelah itu gantian suamiku yang mandi. Waktu suamiku di kamar mandi, tiba-tiba aku merasa dingin, semakin dingin, lalu kedinginan dan menggigil.Aduh! Aku bingung. Di RS Sarila Husada Sragen ini, walau kelas 1, tidak ada bel untuk memanggil suster. Yang ada hanya telepon yang letaknya jauh di sebuah meja -itupun sejak aku masuk sudah tidak berfungsi.
Mas Wijay kutunggu-tunggu rasanya lama benget nggak keluar-keluar dari kamar mandi. Akhirnya setelah keluar kupanggil-panggil. Tapi suaraku nggak bisa keras dan menggigilku makin menjadi.
Ya Allah... apa aku mau mati ya....?
Mas Wijay memanggil suster. Dua orang suster datang menolong. Yang seorang tetap tenang, yang seorang lagi kelihatan agak panik. Mungkin itu sebabnya suamiku jadi ikut panik.
Kata suster kadang-kadang setelah transfusi ada yang reaksinya begitu. Kira-kira 15 menit biasanya normal kembali.
Aku disuntik melalui selang infus. Ya Allah, rasanya sakit bukan main! Bukan karena tertusuk jarum (kan yang ditusuk selang infusnya), tapi karena merasakan obatnya mengaliri pembuluh di lenganku. Seingatku selama operasi amandel (kelas 6 SD), usus buntu (kls 1 SMP) dan 4 kali operasi sesar, aku belum pernah berteriak seperti waktu itu ketika disuntik atau yang lainnya. (mungkin nggak ingat aja kali ya…?)

Memang benar kata suster, setelah disuntik dan diberi oksigen menggigilku semakin berkurang dan akhirnya lenyap. Tapi meninggalkan trauma yang cukup dalam.
Betapa lemahnya manusia. Betapa mudahnya Allah mengambil kembali pemberianNya. Ketika itulah baru kusadari, betapa banyak nikmat yang telah diberikanNya, dan betapa banyak yang tidak kusyukuri....Alhamdulillah setelah transfusi kedua segalanya baik-baik saja.

Ketika aku masuk RS, Ugik dipanggil lagi untuk momong Alya. Karena Alya hanya mau dengan Ugik, akhirnya Ugik jatuh sakit juga karena kecapekan.
Hari Senin ketika anak-anak datang menjenguk, Sekar terlihat pucat dan lemas. Dia nggak mau makan dan demam. Setelah diperiksa di UGD, ternyata harus opname juga karena asma!
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun... Semakin sayangkah Allah pada kami? Ataukah ini hukuman karena kami telah lalai....?
Tapi aku nggak mau berpikir negatif
Ya Allah... hamba tahu Engkau sedang melihat dan mencintai hamba, menguji apakah hamba pantas mendapat kasih sayang dan surgaMu....
Begitulah, jadinya kami berdua dirawat di RS yang sama, tapi di ruang yang berbeda. Sayangnya tidak bisa disatukan.
Selama di RS, saudara-saudara kami jadi repot dan bolak-balik menjenguk. Ada Pakde Gono dan Bude Niniknya pakde Gono (namanya sama dengan nama kakakku), Bude Is dan Pakde Slamet, juga Ndari dan Hayun, puteri2 mereka. Ada Briyan, putera kedua Mas Gono, juga Mas Gun dan yang lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu-satu. Ada juga Ibu Widarni, ibu mertuaku, yang setia membuatkan jamu. Juga Ibuku, Mas Sapto, Imad, Mas Win, Mbak Nik, Mas Yoga, Mbak Lina, Mas Dus dan istri. Kepada semuanya, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah jaza kumullahu khoiro. Terimakasih!
Alhamdulillah kondisi kami berangsur baik. Padahal saat masuk RS, Sekar tidak bisa makan, minum dan minum obat. Bicarapun sulit. Jangankan bicara, bernafas saja susah!
Alhamdulillah pada hari rabu aku sudah boleh pulang, walau tes darah terakhir menunjukkan HB-ku 8,5. Hari itu setelah selang infus dicabut, aku bisa ke kamar Sekar. Alhamdulillah kondisinya sudah jauh lebih baik.
Sekar sedang membaca ketika aku datang. Dia juga sudah mau makan dan minum. Obat sirup bisa diminum, tapi obat puyer selalu muntah lagi, jadi dia tidak mau minum.Tapi setelah sirup dan puyer kucampur dalam gelas kecil, dia bisa minum dan tidak muntah lagi. InsyaAllah hari jumat dia sudah boleh pulang.
Waktu pulang dari RS lengan kananku sakit. Kupikir biasa karena habis transfusi. Tapi ternyata semakin bengkak dan sakit.
Hari jumat aku ikut Mas Wijay ke RS, selain menjemput Sekar sekalian periksa. Dokter lalu memberiku salep dan obat penghilang rasa sakit.Hari Sabtu kami nekat pulang dengan disopiri Dik Bayu, saudara misan suamiku. Soalnya hari senin anak-anak sekolah dan suami juga sudah kelamaan nambah cutinya. Ugik belum bisa ikut karena masih sakit.
Di Tambun, ya aku berbuat sebisaku. Lagi-lagi, Allah menunjukkan betapa aku harus sangat bersyukur padaNya. Dengan kondisi tangan bengkak tidak bisa ditekuk, ada mesin cuci yang mencuci pakaian kami. Ada tetangga yang bisa kutitipi anak-anak saat pergi dan pulang sekolah, dan tetangga yang bersedia memasak buat kami.
Alhamdulillah Alya tidak rewel, dan kakak-kakaknya mau membantu momong. Alhamdulillah juga tanganku semakin pulih, bengkak dan sakitnya semakin berkurang. Kukira segalanya akan segera normal kembali.
Tapi.... ternyata qodar Allah tidak begitu. Hari kamis kondisiku drop lagi. Menjelang asar aku muntah2 tanpa henti. Ku sms suamiku. Mas Wijay lalu menelpon tetangga untuk melihatku. Aku sendiri menelpon bu Nanik, tetangga yang rumahnya agak jauh, tapi kuanggap sesepuh di lingkunganku.Alhamdulillah, ada tetangga yang membantu aku melewati saat-saat sulit. Bu Zaenal dan Bu Tamri, yang rumah mereka persis di depanku datang menolong. Aku sudah hampir tidak sadar saat itu. Bu Nanik menyusul datang. Beliau menjaga agar sholatku tidak ketinggalan.
Lalu malam harinya suami mengantarku periksa ke dokter perusahaan. Alhamdulillah setelah itu kondisiku membaik.
Alhamdulillah lagi, pada hari minggu dini hari, Ugik sudah bisa kembali ke tambun bareng Pakde Win. Kami menjemputnya di rest area karawang timur.
Sekarang, Alhamdulillah keadaan kami sudah kembali baik. Kalau kurenungkan, aku sungguh bersyukur mempunyai suami yang begitu baik dan mencintaiku, dan anak-anak juga baik dan menyayangiku, ditambah saudara-saudara dan orangtua yang begitu peduli dan perhatian.
Alhamdulillahirobbilalamin.
Allah mencoba hambanya sesuai dengan kemampuannya. Alhamdulillah kami telah melewati saat-saat itu.

Rabu, 03 September 2008

Bangun pagi

Early to bed, early to rise make a man healthy, wealthy and wise!

Minggu, 31 Agustus 2008

Puasa talah tiba

Malam ini mas Wied, Sekar, Yudha, Bagus dan Ugik ke masjid untuk sholat isya dan tarawih. Tinggallah aku dan Alya di rumah.

Rasa sedih menggelayuti hatiku. Aku tidak bisa menjalankan ibadah seperti mereka karena tamu bulanan datang berkunjung. Tamu yang sebenarnya setengah diharap kehadiran dan ketidakhadirannya.

Pinginnya jangan datang bulan. Tapi kalau bulannya tidak datang, diarep-arep karena biasanya kalau dia tidak datang berarti aku hamil…hehe..

Lidahku terasa ‘gatal’ ingin membaca AlQuran. Surat-surat kesayangan ( bukan berarti yang lain tidak disayang) yang kuusahakan kubaca tiap hari disamping nderes yang biasa, saat ini tidak bisa kubaca.

Surat-surat itu adalah surat Yaasiin, Ar Rahman, Alwakiah dan AlMulk. (aku mendengarkan surst-surat ini dari CD yang diberikan mbak Warih, kakakku. Tapi rasanya lebih enak baca sendiri)

Di tenda Mina, Pak Toyibun, ustad yang membimbing kami saat ibadah haji memangkulkan keutamaan surat Yaasiin. Yaitu, pahalanya sama dengan khatam membaca AlQuran 10 kali.
Sedangkan surat ArRahman, kuusahakan selalu kubaca karena membuatku lebih bersyukur pada Allah. Kalau sedang membaca surat itu hati rasanya gimana gitu.
Surat Alwakiah, karena Allah memberi rizki kepada orang yang membacanya.
Surat AlMulk, karena orang yang rutin membacanya akan terhindar dari siksa kubur.
Waktu hamil Alya enaknya aku bisa dibaca semua setelah sholat subuh, atau sehabis sholat dhuha, pas anak-anak sekolah. Kalau sekarang ya sesempatnya.
Tapi mungkin puasa ini mungkin fokusku ke khatam AlQuran saja, Insya Allah.

Dua tahun kemarin hutang puasaku numpuk.
Waktu hamil Alya aku sering nggak puasa karena lemas. Waktu menyusui sebenarnya hutangnya pas datang bulan aja, tapi nyaurnya beraaatt… Alhamdulillah, hari kamis kemarin sudah bisa lunas semua. Itu semua karena izin Allah. Aku doain terus, mudah-mudahan sebelum Ramadhan tiba hutang puasaku sudah lunas semua…amin. Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku.

Kata Mbak Nik, kakak sulungku, “Alhamdulillah. Sekarang hutangnya lunas, besok hutang lagi. Gali lubang utup lubang dong…hehe!”
Ya habis gimana lagi. Wong dipaksain puasa juga nggak ada manfaatnya. Tetep aja hutang….
Semoga aku bisa segera puasa dan mengerjakan amalan lainnya. Semoga niatku benar-benar karena Allah, mengharap surga Allah dan selamat dari nerakaNya. Amin.

Sudut kamar anak-anakku, 31 agustus 2008

Sabtu, 30 Agustus 2008

Tragedi Cinta Ratu Pembayun





Sebuah manuskrip tua di dinding batu berbunyi: " Kanjeng Panembahan Senopati, Bertahta Kerajaan Mataram, Tahun Djinawal : 1509 Tahun Masehi : 1579 ...". Hmm, sudah lebih dari 500 tahun lalu !
Daya wibawa apakah yg dimiliki sehingga orang masih 'memujanya', menjaga makamnya bahkan beratus-ratus tahun setelah kematiannya ? Bandingkanlah dng manusia sekarang, yg bahkan sudah dihujat saat mereka masih menjabat !
Ini adalah kompleks makam raja-raja Mataram di Kota Gede yg konon angker, wingit. Pohon beringin raksasa yg rimbun, gelap, dengan akar berjuntai di pintu masuk, menyiratkan aura itu. Well, ini mungkin sugesti saja. Di kompleks ini terdapat masjid, makam, dan tempat pemandian putri-putri dan putra-putra raja.
Di kompleks inilah dimakamkan Panembahan Senopati, raja Mataram Islam pertama dan Ki Ageng Mangir menantu sekaligus musuhnya . Sebuah relasi mertua-menantu yang penuh ironi, sebagaimana tragedi cinta antara Ratu Pembayun dengan Ki Ageng Mangir.
Saat Panembahan Senopati bertahta , ada suatu daerah yg tidak mau mengakui hegemoni Mataram, yaitu tanah Perdikan Mangir yg dipimpin Ki Ageng Mangir. Ini seakan menjadi bisul bagi Panembahan Senopati yang telah bertekad menguasai sepenuhnya Mataram.

Maka Panembahan Senopati bermaksud melakukan 'duel meet' untuk menentukan siapakah yg paling berhak berkuasa di Mataram. Peyelesaian khas laki-laki. Panembahan Senopati raja 'tulen', naik tahta bukan karena hadiah tapi karena memang punya daya linuwih, karena itulah ia tak ragu untuk bertarung dng ki Ageng Manger yg juga digdaya.

Tapi Sang Patih, Ki Juru Martani berpendapat lain....Ki Ageng Mangir dianggap bukan levelnya. Kalaupun Panembahan Senopati menang, itu hal yg lumrah saja, wong dia raja. Kalo kalah ? Taruhannya terlalu besar. Seperti kata pepatah, 'menang gak kondang, kalah malu-maluin'. Ki Juru Martani menawarkan jalan yg lebih halus, sedikit berliku, tapi licik....

Maka digelarlah suatu operasi intelijen, Ki Juru Martani dan Ratu Pembayun menyamar menjadi penari keliling. Ratu Pembayun tak lain adalah anak Panembahan Senopati sendiri. Misi operasi ini adalah: "temukan rahasia kesaktian Ki Ageng Mangir dan musnahkan !". Jadi mirip-mirip perintah "Search and destroy !" dalam dunia militer.

Dan sebagaimana sudah digariskan takdir, maka terpesonalah Ki Ageng Mangir pada penari keliling yg molek ini. Sungguh kelemahan khas laki-laki...

Singkat kata, merekapun menikah. Betapa seperti disambar geledek Ki Ageng Mangir setelah Ratu Pembayun mengaku bahwa dia adalah anak Panembahan Senopati, musuh bebuyutannya....

Apa boleh buat, janji perkawinan telah diucapkan, pertalian darah telah ditorehkan. Kini dia menjadi menantu dari musuhnya.
Atas ajakan Ratu Pembayun, Ki Ageng Mangir bermaksud menghadap Panembahan Senopati, sang Ayahanda. Sepanjang perjalanan, kebimbangan menggelayut di benak Ki Ageng Mangir. Panembahan Senopati telah menjadi mertuanya. Tetapi dirinya selama ini mengambil posisi berseberangan dng raja Mataram itu. Apakah dia akan diterima sbg menantu atau musuh ? (ada banyak cerita legenda yg menggambarkan kebimbangan Ki Ageng Mangir ini). Seakan Ki Ageng Mangir telah mencium takdir yg akan menantinya......

Maka bertemulah dua seteru yg telah terikat pertalian darah ini...ketegangan merajai kedua pihak. Sebagai menantu yg baik, Ki Ageng Mangir telah melepas seluruh senjata yg dibawanya. Dissarmed. Dia mengambil posisi bersimpuh dan bersiap menyembah kepada Panembahan Senopati sebagai tanda penghormatan. Hening. Helaan nafas seperti tertahan dalam kilatan waktu yg tiba-tiba melambat seperti berbulan-bulan lamanya.

Ketika kepala Ki Ageng Mangir hampir menyentuh lantai, secara tiba-tiba Panembahan Senopati dengan gerakan tak terduga meraih dan (maaf) membenturkannya ke lantai....sebuah dendam politik dituntaskan....tewaslah Ki Ageng Mangir di tangan sang mertua seiring lengking tangis Ratu Pembayun.

Mungkin Pembayun benar-benar cinta Ki Ageng Mangir.
Mungkin dia tidak mengetahui rencana sang ayah.
Mungkin dia adalah korban ambisi sebuah kekuasaan....
( Watu Canteng, adalah singgasana
Panembahan Senopati. Lekukan pd pinggir batu
menandakan tempat kepala Ki Ageng
Mangir dibenturkan. )
--0O0----------

Makam Ki Ageng Mangir sendiri dibuat separuh di dalam pagar kompleks makam dan separuhnya lagi di luar pagar. Sungguh suatu perlambang ambigu: separuh musuh separuh keluarga. Tapi juga mencerminkan sisi kelam jiwa manusia yg memiliki dendam begitu besar, bahkan setelah musuhnya mati...----0O0------

Tempat-tempat tak terkunjungi

Berkali-kali ke Jogja, tapi ada beberapa tempat yg sampai sekarang belum sempat juga saya kunjungi yakni IKIP Jogja, Dinas Kesehatan, dan rumah kos di sekitar RS Sardjito. Itu adalah lokasi di mana dulu saya test tahap ke-2 untuk masuk STT Telkom.

Mengapa saya sangat ingin berkunjung ke tempat itu ?
Ijinkanlah saya berkisah. Saya ingin ke tempat-tempat tsb bukan karena nostalgia yg sentimentil. Bukan karena perasaan 'glorying the past' (sikap mengagung-agungkan masa lalu). Bukan. Saya ingin ke sana karena begitu monumentalnya peristiwa-peristiwa seputar masa itu dan saya ingin merasakan kembali atmosfirnya.
---------oOo-----------------------------------------------------------------------------------------------

Syahdan ketika itu th 1991, selepas SMA menjadi saat-saat yang genting, krn keputusan yg diambil akan mempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya. Kalau sebagian besar teman di kelas 3 SMAN 1 Sragen antusias mempersiapkan diri menghadapi UMPTN, saya justru berada dalam kegalauan. Waktu itu secara bersamaan saya lulus SMA, adik lulus SMP, dan adik satunya lagi lulus SD. Suatu kondisi yg berat bagi Bapak saya yg pegawai negeri golongan II B untuk membiayai kami bertiga masuk sekolah baru, padahal satu kakak lagi masih kuliah di UNS Solo. Karena itulah saya memantapkan hati untuk tidak mendaftar ke UMPTN dng rencana saya akan cari kerja dulu, baru nanti kalau ada kesempatan sambil kuliah. Suatu keputusan yg menimbulkan 'feel guilty' bagi kakak saya yg di UNS, sehingga pada hari terakhir pendaftaran UMPTN saya didesak untuk daftar. Tapi saya tetap bersikukuh tidak mendaftar.

Heroik ya ? Tidak juga. Saya gak daftar juga karena sedikit trauma. Satu kakak saya yg sudah lulus bertahun-tahun lalu dari Fakultas Peternakan UGM (dan mungkin merupakan sarjana pertama di kecamatan kami (!)) masih menganggur. Saya ngeri membayangkan jadi sarjana yg pengangguran, dng beban moril yg besar.

Tapi ternyata Tuhan menggariskan jalan hidup yg lain. Kakak yg lain (wah, kakak lagi, banyak banget? Ya, saya 8 bersaudara) yg jadi PNS di Demak, suatu hari pulang kampung dng membawa buku pendaftaran masuk STT milik adik iparnya. Sekolah baru itu menjanjikan suatu hal yg diimpikan setiap orang seperti saya: uang saku, jaminan pekerjaan, dan kuliahnya gratis ! Meski saya sempat lemas membaca biaya pertama sebesar Rp 1 juta.

Akhirnya saya daftar juga bersama sekitar lima belasan teman SMA. Sekitar sepuluh orang lolos tahap pertama. Hampir seluruhnya teman sekelas dari 3A1. SMA saya membuat pengelompokan kelas berdasarkan nilai NEM saat masuk. NEM dirangking, kemudian 40 besar teratas masuk kelas 1A, 40 berikutnya masuk kelas 1B dst. sampai kelas terakhir yaitu H. Suatu sistem yg hanya menghargai kepintaran akademis semata, yg membuat anak-anak kelas A merasa sbg 'superior' dan anak-anak kelas H seperti kelas 'sisa'. Tak heran saat kenaikan ke kelas 2, hampir 100% anak kelas A masuk ke jurusan yg waktu itu dianggap paling favorit yakni A1, dan anak-anak kelas H 'terpaksa' masuk ke jurusan A3.

Bagi saya pribadi, ini juga jadi 'tragedi' kecil. Menjadi langganan juara (sbgmn anak2 STT lain) dan 10 besar saat SD dan SMP, saya mati angin saat SMA. Bersaing dng para best of the best, membuat begitu susahnya untuk bisa masuk 10 besar..

Maka sangat wajar kalau yg lolos tahap pertama hampir seluruhnya dari kelas saya . Kami berombongan ke Jogja untuk ikut test tahap kedua: kesehatan, psikologi, diskusi dll. Di antara kami adalah para 'jawara' kelas, anak-anak yg hampir selalu masuk 10 besar (kecuali saya tentunya he..he...). Dng menumpang di tempat kost kakak salah seorang rekan yg kuliah di Jogja, kami mencoba peruntungan kami.

Dan ketika tahap kedua diumumkan, separuh dari kami rontok...tetapi nama saya tercantum di antara mereka yg lulus..uughhhhh ! Saya lulus !
Bagaimana bisa ?Sementara teman-teman saya, para juara kelas rontok ! Huh, siapa yg terbaik sekarang ? Begitu batin saya, sombong. Dan mimpi saya akan pergi ke Bandung, sekolah gratis, uang saku, jaminan pekerjaan, dan masa depan yg lebih baik akan terkabul.
Ini bagaikan suatu (maaf) orgasme yg penuh, sempurna, dan total..... ! (aduh, maaf banget...sulit untuk cari kata-kata analogi lain yg pas. Maaf untuk yg jarang-jarang mengalami..:-).

Karena itu, kalau sebagian teman STT yg juga diterima di UI, ITB, Akmil, STAN dll sempat bimbang mana yg akan dipilih, maka saya dng tidak ragu-ragu ibaratnya menyatakan "pejah gesang nderek STT"...
-------oOo-------------------------------------------------

Barangkali ini representasi juga dari kisah sebagian anak STT Telkom yg lain. Masuk ke STT barangkali bagi saya (yg untuk bisa bayar satu juta rupiah-pun harus jual tanah) dan (dng tidak mengurangi rasa hormat) mungkin sebagian anak STT lain adalah salah satu pencapaian 'tertinggi' dalam perjalanan hidup. Ini bagaikan suatu 'wild card'* untuk masuk ke gerbang migrasi sosial, dari kaum 'the have no' (kaum papa) menjadi bagian dari 'the haves' (kaum berpunya).

Bayangkan tanpa keberuntungan, golongan 'the have no' hampir pasti akan kalah dng mereka yg dari 'the haves'. Tanpa KKN-pun, 'the haves' unggul segala-galanya: gizi yg lebih baik, buku dan sarana pendukung yg lebih lengkap, networking dll. Jadi saya merasa ini lebih karena kami beruntung, karena kami pas berada di tempat dan jaman yg tepat, karena berkah dari yang Maha Kuasa, dan bukan karena kami hebat !

Apalagi dng kondisi sekarang, di mana untuk masuk PTN-pun biayanya begitu besar. Hampir-hampir bisa dipastikan, akan semakin sedikit yg memperoleh kesempatan untuk bisa melakukan migrasi sosial. Jadi bisa dibayangkan betapa beruntungnya kami saat itu.....
--------oOo------------

Waktu berlalu. Ingatan akan keberhasilan dan keberuntungan tersebut pelan-pelan mulai pudar. Saya mulai terhanyut pada pikiran-pikiran ketidakpuasan. Mulai mudah menggerutu akan kurangnya fasilitas. Terperangkap dng pikiran-pikiran negatif. Kadang-kadang mulai mempertanyakan 'hakekat perjuangan', ketika merasa sudah memberikan yg terbaik (tentu saja klaim ini sangat subjektif dan sepihak), tetapi merasa imbal baliknya tidak sepadan.

Dan mulai merasa apa yg saya dapat tiap bulan adalah suatu hak yg memang semestinya harus saya terima. Harta yg saya miliki memang sudah hak saya. Tidak lagi merasa bahwa itu merupakan karunia. Mulai lupa bagaimana dulu betapa susah payah cara mendapatkannya. Dan tidak sadar betapa beribu-ribu orang di luar sana dng kemampuan berlipat kali lebih baik ingin masuk ke sini.

Mungkin kita memang cenderung mengabaikan dan meremehkan apa yg sebelumnya dng susah payah kita dapatkan justru setelah hal tersebut di tangan kita. Mungkin pekerjaan. Mungkin kendaraan. Mungkin pasangan....Dan kita baru akan menyadari betapa berharganya sesuatu itu setelah kita benar-benar kehilangannya...

Karena itulah betapa saya ingin mengunjungi tempat di mana dulu dng susah payah memperoleh 'wild card' ini untuk kembali menyadari betapa beruntungnya saya.......
-------------------------------------------------------------------------------------------------------oOo-------------------

Ket: *wild card: suatu keistimewaan/fasilitas yg diberikan kepada pemain tenis untuk ikut pertandingan tanpa melalui babak penyisihan atau mengikuti suatu turnamen meski secara peringkat sebenarnya ia tidak berhak. Biasanya diberikan kepada pemain tuan rumah.

menunggu

Sekarang aku punya waktu 45 menit sebelum bel di sekolah sekar, anak sulungku berbunyi.
Hari ini hari jumat 29 agustus 2008.
Yudha dan bagus, anak-anak lelakiku nomor 2 dan 3, karena guru-guru mereka ada acara di sekolah, sudah pulang jam 9 tadi. Sekar minta ditengok ke sekolah jam 9.30. Biasanya pulang jam 11. Tapi karena adik2nya yang beda sekolah pulang jam 9, mungkin dia juga pulang lebih awal.

Jadi sekarang di sinilah aku. Di ruang tunggu sekolah sekar.
Sebenarnya aku bisa saja pulang lagi, karena sampai di sekolah tadi belum jam 10. Tapi lumayan juga bolak-balik naik motor . Makanya kuputuskan mengetik saja. Dari rumah aku memang sudah siap-siap bw laptop. Waktu minta dibelikan laptop ke mas wied, suamiku, memang tujuanku untuk mengisi waktu, kalau harus menunggu anak-anak di sekolah aku bisa terus menulis.

Alhamdulillah, kemarin di sekolah yudha sambil nunggu bagus pulang juga aku bisa menulis. Seneng banget rasanya bisa menulis lagi. Ada orang lain yang baca atau enggak, kalau bisa menulis itu senang. (kadang2 kalau dibaca orang malah malu).

Aku sedang senang membuat blog. Rasanya seperti membuat majalah waktu bekerja di Taman Melati dulu (ya Allah, rasanya rindu banget sama suasana di Taman Melati. Mudah2an suatu saat aku bisa menerbitkan majalah sendiri. Amin.Cita-citaku macem-macem tapi belum kesampaian. Bikin taman bacaan juga belum jadi. )

Dengan bikin blog rasanya seperti membuat majalah sendiri. Cuma karena belum mahir, susunan blognya belum bisa seperti yang aku inginkan. (ada yang bisa bantu aku…?)

Untuk menulisnya cukup tersalurkan. Yang belum menggambarnya. Nggak tau nih kelamaan nggak pegang pensil jadi susah untuk menggambar. Ada tetangga pesan digambarkan anaknya belum bisa kulakukan. Padahal seluruh anggota keluarganya (kecuali anaknya yang belakangan lahir) sudah kugambar dan ditempel di dinding rumahnya.

Wah, mulai banyak yang datang menjemput anaknya. Dudukku sudah nggak nyaman untuk mengetik. Bukannya karena ramai atau ada yang ngintip (hehe), tapi kan harus berbagi tempat duduk dengan yang lain. Nggak bisa santai selonjor sambil mikir.

Sudah dua kali selama duduk di sini aku ditelpon yudha. Sudah ah, capek nulisnya.

Jumat, 29 Agustus 2008

Marhaban ya Ramadhan

Puasa sebentar lagi.
Pada bulan suci setan diikat, pintu neraka ditutup, dan pintu-pintu surga terbuka. Kesempatan bagi kita untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Karena pahala yang diberikan oleh Allah tidak kira-kira.

Logikanya, dengan diikatnya setan, maka kita tidak terganggu oleh apapun yang membuat ibadah kita kendor. Nyatanya, meskipun setan-setan telah diikat, masih juga manusia berbuat salah, malas, kadang-kadang juga pelanggaran, bahkan maksiat. Semoga kita terbebas dari semua itu dan bisa fokus beribadah padaNya.

Menjelang bulan puasa, biasanya orang-orang mulai saling meminta maaf. Kalau di komplek tempatku tinggal, usai acara pengajian rutin kemarin malam, ibu-ibu bersalam-salaman sambil meminta maaf kepada sesama ibu-ibu dan remaja putri. Yang bapak-bapak juga demikian, salaman dan saling meminta maaf dengan bapak-bapak dan remaja putra.

Cara lain yang umum ya sms-an. Buat aku yang nggak begitu terkenal (cie..hehe), sms yang masuk lumayan banyak. Ada yang membalas smsku, ada juga yang duluan kirim ke aku.
Aku kirim sms sesuai urutan abjad di phonebook hpku yang aku kenal (maklum, hp itu lungsuran suamiku, jadi banyak nomor yang nggak kukenal). Waktu sampai di urutan b, tertera nama bapak-ibu, yaitu nomor telp mertuaku. Seketika aku sadar, aku sudah sms ke mana-mana, sudah minta maaf tetangga, tapi kepada orangtua dan mertua malah belum!

Aduh, rasa bersalah menggigiti hatiku.

Kalau kepada suami, aku tidak lupa meminta maaf karena kami selalu bersama. Tapi kepada orangtua yang jauh aku lupa!

Akhirnya malam itu juga aku telpon ke rumah ibu di yogya. Alhamdulillah ibu ada.
Senang rasanya bisa mendengar suara ibu yang lembut dan sangat familier di telinga.
Alhamdulillah ibu sehat. Alhamdulillah kondisi tangan ibu yang retak karena jatuh saat main badminton sudah lebih baik. Yang sangat kusukai kalau menelpon ibu adalah beliau selalu mengakhirinya dengan mendoakan kami.

(Waktu dengar kabar ibu jatuh saat badminton, yang terpikir olehku: wah, ibu mau jadi lim swie king! Tapi aku tahu dari dulu ibu senang badminton. Dokter yang merawat ibu juga nanya, kok nggak ke Beijing sekalian..hehe)

Setelah menelpon ibu aku menelpon ke bapak-ibu di menjing.
Bapak yang menerima sendiri. Ibu dan willy, keponakanku dari kakak tertua mas wied sedang nonton tv. Jadi aku hanya bicara dengan bapak, memohon maafnya dan juga doanya, dan minta disampaikan ke ibu. Insya Allah lain waktu aku akan menelpon lagi dan semoga bisa bicara dengan ibu.

Puasa tinggal beberapa hari lagi. Kakak-kakak dan adik-adikku, Saudara-saudaraku, teman-temanku, mohon maafkan semua kesalahanku. Semoga di bulan suci ini kita dapat mempersungguh beribadah pada Allah dengan niat yang benar-benar karena Allah SWT. Dan usai usai ramadhan nanti, kita menjelma menjadi individu yang lebih baik, lebih faham dalam agama dan lebih mempeng ibadahnya. Amin.

Bekasi, 29 agustus 2008

Rabu, 27 Agustus 2008

Tamat di awal jumat

Jumat pagi. Selalu ada keriangan tersendiri di Jumat pagi. Bukan cuma karena hari itu kebanyakan orang tampil santai dengan kaus dan jeans sehingga kantor menjadi semarak. Juga bukan karena boleh sejenak ber-Out of Topic di hari Jumat. Tapi karena itulah hari terakhir kerja minggu ini dan besoknya kita boleh memanjakan diri..

Dari balik kokpit ?Antonov? saya menstater mesin. Mengamati lampu-lampu indikator: tekanan oli, water sedimenter, voltage accu, digital tachometer, bahan bakar. Semuanya ok, siap untuk ?penerbangan? hari itu. Diiringi musik dari I-radio, saya menginjak pedal kopling dalam-dalam, memasukkan gigi satu dengan gerak sepenuh hati dan ?Antonov? pun ?take off?.

Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi kebiasaan otomatis -telah mengendap di memori, bahkan dengan mata terpejampun kalian bisa melakukannya- tetapi kali ini setiap gerak kamu hayati dan rasakan dengan sungguh-sungguh seperti baru pertama kali melakukannya ? Mengemudi misalnya. Jika belum, cobalah sekali-kali. Dan nikmatilah suatu sensasi rasa seperti saat kalian pertama kali mampu melakukannya...

Sambil melirik bayangan lambaian istri di kaca spion yang makin menjauh, mengangguk pada tetangga, saya menikmati siraman sinar matahari pagi yang mulai meninggi. Ah, awal hari yang damai, batin saya. Persnelling 3 masuk, ?Antonov? pun melaju...
--o0o----

Tapi mendadak keriangan Jumat pagi itu terhenti. Kerumunan orang di jalan memaksa saya menginjak rem, melambatkan mobil. Ada apa ya ? Seonggok daun semak-semak menutupi jalan. Ada genangan darah di baliknya. Aspal jalanan memerah oleh darah. Astaga ! Hati-hati saya melintas agar tidak melindas genangan darah itu. Di pinggir jalan, sesosok jasad tergeletak, sudah tak bernyawa. Kecelakaan ? Mungkin. Tapi saya tak punya waktu untuk mencari tahu. Orang-orang menyuruh maju, dan di kota ini kita terbiasa untuk tidak peduli, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saya menunduk, menekan rasa mual yang tiba-tiba meronta di dasar perut..
--o0o---

Pagi ini sebuah nyawa telah terlepas dari raganya, menghadap Sang Pencipta. Bersamaan itu, terhenti pula perjalanan seorang manusia. Termasuk rencana-rencana hidupnya. Kalau ia seorang karyawan, mungkin ia sedang berencana kuliah lagi untuk meningkatkan karir. Kalau ia AM, mungkin sales activity-nya baru separo jalan. Kalau ia seorang debitur, mungkin lagi merencanakan untuk merestrukturiasi kreditnya dengan menambah kredit baru berupa mobil, rumah atau yang lain karena pendapatannya naik. Mungkin. Siapa tahu ?

Tapi semua itu terhenti tiba-tiba pagi ini. Bagai sebuah buku yang tiba-tiba tamat padahal lagi seru-serunya. Padahal baru sampai bab utama, belum bab penutup. Umumnya orang menghendaki sebuah perjalanan hidup yang komplit: terlahir, masa kanak-kanak, dewasa, tua. Dan ?berharap? meninggalkan dunia ini saat semua misi telah dituntaskan, ?mission accomplished? . Sebuah ending yang sempurna.

Tapi bila tamatnya perjalanan ternyata datang lebih cepat dari yang dipinta, siapa yang kuasa menolaknya ? Karena ??maka ketika telah datang ajal seseorang, tiada yang dapat memajukan ataupun memundurkannya barang sesaat saja..? (Quran). Atau juga ?Panjang angan-angan manusia senantiasa melebihi panjang umurnya? (terjemahan bebas hadist). Bahkan seorang Chairil Anwar yang ?Aku ingin hidup seribu tahun lagi? pun gagal mewujudkan keinginannya dan mati dalam kemudaannya??..........................................the end -------oOo----

Lost in Arofah


LOST IN ARAFAH (1)
Dalam rangkaian haji, ada sebuah ritual yang dinamakan wuquf di Arafah. Yakni jamaah haji menuju padang Arafah untuk berdiam diri dan berdoa sampai waktu magrib tiba. Ini dilakukan secara serentak. Maka pada tanggal tsb seluruh jamaah bergerak dari Mekah, melewati Mina, ke Arafah. Mekah - Arafah kurang lebih berjarak 25 km. Usai magrib, jamaah kembali bergerak ke Mina. Inilah salah satu etape paling dramatis yang kami alami.

Untuk menuju Arafah, terdapat 2 pilihan: naik bus (istilahnya raqiban ) atau berjalan kaki ( masiyan ). Masiyan memang tidak terlalu populer bagi jamaah haji Indonesia . Namun beberapa rekan yang pernah naik haji merekomendasikan masiyan karena lebih kental nuansa spiritual dan pahalanya. Pihak biro travel memfasilitasi keduanya.

Sampai hari keberangkatan ke Arab, bahkan menjelang pelaksanaan wukuf, saya belum bisa memutuskan cara apa yang akan dipilih. Istri menginginkan masiyan, tetapi menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan saya. Masiyan mungkin lebih 'full petualangan', full pahala, tapi juga beresiko karena jarak yang ditempuh tidak main-main: pp 50 km jalan kaki ! Diperlukan fisik yang benar-benar bugar. Sementara persiapan fisik saya & istri sebelum haji tidaklah intens. Saya hanya olah raga ringan semingu 3-4 kali. Meski di sisi lain, masiyan juga ada keuntungan teknisnya yakni waktu tempuh lebih bisa diprediksi (info penyelenggara, meski hanya 25 km, bila menggunakan bus waktu tempuh bisa 8-9 jam, bahkan lebih, karena pasti macet). Bagi istri saya yg hamil, berada di bus begitu lama tentu menyulitkan apalagi kalau harus sering-sering ke toilet. Bila berjalan kaki, konon di sepanjang perjalanan terdapat fasilitas toilet dan air minum yang sangat cukup.

Jadi pilih mana, naik bus atau jalan kaki ? Duh, begini sulitnya jadi pemimpin...saya jadi ingat film "U 571". yg a.l bercerita soal kepemimpinan.
Kisahnya berlatar perang dunia II. Sebuah kapal perang Sekutu ditugaskan menyergap kapal selam Jerman yang sedang naik ke permukaan laut. Misinya adalah merebut Enigma -alat pembuat kode komunikasi- di kapal itu. Melalui penyamaran yang cerdik (& licik) penyergapan berlangsung sukses. Kapal selam Jerman berhasil dikuasai, Enigma didapat. Nampaknya misi akan berakhir gilang gemilang: mereka tinggal kembali ke kapal dan pulang ke pelabuhan Sekutu. Tapi sebuah bencana besar memupus itu semua. Saat masih di sekoci menuju kapal, tiba-tiba kapal perang Sekutu meledak dan terbakar hebat. Dan dalam sekejap, hujan peluru di mana-mana. Olala, apa yang terjadi ?

Rupanya tanpa diketahui prajurit Sekutu, sebuah kapal perang Jerman lain muncul di situ dan men-torpedo kapal Sekutu. Korban berjatuhan, termasuk komandan kapal Sekutu. Tiada pilihan, prajurit Sekutu yang tersisa berusaha secepat mungkin kembali ke kapal selam Jerman yang barusan mereka sergap dan sudah dikosongkan. Mereka cepat-cepat menyelam untuk menghindari bom laut Jerman.

Karena komandan pasukan tewas, pimpinan pasukan jatuh ke pangkat level berikutnya. Sebut saja Letnan X. Sebenarnya ada yang lebih senior, seorang veteran, sebut saja pelaut Y, tapi menolak jadi pimpinan. Terguncang oleh pupusnya kemenangan yang sudah di depan mata yang berbalik menjadi kekalahan dan terlebih-lebih karena tewasnya komandan mereka yang sangat mereka segani, sisa prajurit yang nyaris putus asa menghadap Letnan X, dan bertanya: apa yang harus di lakukan ? Mereka seperti sekumpulan anak ayam yang kehilangan induk. Di atas mereka kapal Jerman terus menghujani dengan bom laut dalam. Dan mereka berada di kapal selam Jerman yang asing. Apa jawaban Letnan X ? Sama terguncang dan putus asanya, ia menjawab:
"Kau kira aku punya semua jawab an ? Aku juga tidak tahu.. !"

Pelaut Y segera mengajak Letnan X bicara empat mata.
"Engkau akan membuat kita semua terbunuh !. Tidak peduli tahu atau tidak, jangan pernah lagi berkata di depan anak buahmu bahwa engkau tidak tahu.. !"

That's leadership. Seringkali yang dibutuhkan anak buah adalah sebuah keyakinan, keyakinan bahwa sang pemimpin akan menuntun mereka ke tujuan, memberikan arah, memberikan pengayoman. Soal tugas-tugas, m ereka tidak selalu perlu diajari karena mereka sudah ahli, bahkan bisa jadi lebih ahli dibanding sang pemimpin !

Pemimpin tidak boleh ragu-ragu memutuskan meski mungkin saja di kemudian hari keputusan tersebut ternyata tidak tepat. " I'm ever wrong, but never in doubt" . (Mungkin saya pernah salah, tapi tidak pernah ragu-ragu). Begitu yang saya dengar di radio.

Pemimpin adalah individu yang make things happen . Pemimpin efektif bukanlah selalu seseorang yang dipuja atau dicintai, namun mereka adalah individu yang menjadikan para pengikutnya berbuat benar. Kepemimpinan berbeda dengan popularitas. Kepemimpinan identik dengan pencapaian hasil (Peter Drucker)

Mendengar wejangan si Pelaut, si Letnan segera bangkit dari keterpurukannya. Perintah-perintah segera mengalir deras ke anak buahnya dengan penuh keyakinan: menambal kebocoran kapal, menyiapkan senjata dan torpedo, mengatur kedalaman penyelaman, demi melawan kapal Jerman di atas mereka...

Namun, meski sudah pernah membaca dan melihat itu semua, di sini, menjelang Arafah, saya masih bingung memutuskan mode perjalanan yang akan dipilih: raqiban atau masiyan. Pihak biro perjalanan sudah wanti-wanti, bila memutuskan berjalan kaki, maka itu berarti 'point of no return' . Artinya bila di tengah jalan tidak kuat, maka pihak penyelenggara tidak akan bisa mengevakuasi menggunakan kendaraan. Hal ini karena jalur pejalan kaki dan bus berbeda, tidak ada kendaraan yang diperkenankan lewat jalur pejalan kaki kecuali ambulans dan polisi. Janji yang betul-betul 'ditepati' penyelenggara kemudian......Dan sebuah petualangan yang tak akan saya lupakan telah menanti di depan....
-------oOo-------------------------------------will be continued
Bekasi, Minggu, 11 Okt 2007.

Referensi:
- Beyonce Leadership karangan Dr Djokosantoso Moeljono (eks dirut BRI, dirutnya mbak Nik)
- Talkshow Ramako
- Film K-571
- Pengalaman pribadi

cemburu

Cinta itu seperti bara api yang menghangatkan diri
Ketika cemburu datang mengipasi, bara menjadi nyala api
Yang membakar sekeliling tanpa kenal kompromi

Andai aku bisa memilih, antara cemburu atau tidak cemburu, tentu kupilih tidak ceburu. Tapi hati tak dapat berdusta. Karena rasa adalah segalanya… kata kecap bango…

Adakah yang tidak pernah cemburu?

Waktu kecil aku cemburu dengan saudara atau teman. Bahkan dengan ibu atau bapak, karena merasa bapak lebih memperhatikan ibu atau ibu lebih memperhatikan bapak daripada memperhatikan aku. Apalagi kalau bapak baru pulang dari tugas, terus mengunci diri di kamar bersama ibu.... huaaaa....!!! Aku menangis sambil menggedor pintu. Nggak tangung-tanggung, pernah pintunya kupukuli pakai raket badminton. Kok bapak kangennya cuma sama ibu...? Untung pintunya kuat.
Hehehe... sekarang kadang aku tersenyum sendiri kalau anak-anakku mulai menggedor pintuku....

Menjelang dewasa cemburu bila ada yang kelihatan dekat dengan orang yang disayangi (baca: kakakku. Bukan pacar soalnya g punya.) Tapi dari kakak-kakak yang aku cemburui (no 7 kebawah, kalau yang keatas aku nggak merasa kalau pasangan mereka adalah kakak ipar), sepertinya cuma yang nomor 8 yang kubikin pusing. Sampai berkomentar, "Ya ampun, satu istri dan satu adik aja kayak gini, kalau istrinya dua kayak apa...???" Kalau yang lain aku nggak merasa bikin mereka pusing, jadi kalau pusing sendiri bukan salahku ya....!! :D

Dan setelah menikah, aku cemburu pada segala sesuatu yang menyimpangkan perhatian suami dariku. Termasuk pekerjaannya dan teman-temannya... (Peace... buat yang merasa (pernah) kucemburui..)
dan juga anak-anak kami.
Jangan tanya apakah cemburu pada buah hatiku sendiri masuk dalam logika. Yang jelas kurasakan aku cemburu, setidaknya pada awal-awal aku punya bayi. Habis... apa-apa selalu di bayi. telpon yang ditanya si bayi, oleh-oleh...buat si bayi. buat ibunya mana...? Hehehe... lucu deh kalau ingat.

Sekarang... apa yang kucemburui ya?

Seiring berjalannya waktu, rasa percaya dan pasrah pada qodar Allah terasa memenuhi hatiku, menepis cemburu yang (dulu) sering mengganggu.
Komunikasi yang baik, saling terbuka, percaya dan dibarengi dengan doa , memperkokoh pernikahan kami. Dengan anak-anakpun sampai kini alhamdulillah baik. Semoga bisa terus lebih baik. Harapanku kami menjadi suami istri dan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah di dunia dan di surga nanti. Amiin.

Sebuah jembatan terentang dalam hidupku, menuju surgaku
Semoga jembatan itu tidak runtuh
Sampai aku melintas tiba di seberang… Amiin.

Selasa, 26 Agustus 2008

pussy4

Kin dan Kuro tumbuh dengan sehat. Mereka gendut-gendut dan lucu-lucu. Pussy kelihatannya sangat menyayangi mereka. Dia selalu menjaga anak-anaknya. Kalau ada kucing lain mendekat, Pussy pasti mengusirnya.
Kalau kamu melihat tingkah Kin dan Kuro, kamu pasti tertawa! Soalnya mereka benar-benar lucu!
Makin lama mereka makin besar. Hampir separuh besar Pussy.
Pussy kelihatannya mulai genit. Dia kembali bikin ulah dengan pipis di sembarang tempat. Belakangan aku tahu dari acara layar satwa di televisi, kalau itu dilakukannya untuk mengundang kucing jantan. Kucing-kucing jantan akan mencium bau pipisnya dan mereka akan tahu kalau Pussy sudah siap kawin dan punya anak lagi.
Pussy mulai galak pada Kin dan Kuro. Dia marah kalau anak-anaknya mendekat.
Nggak lama kemudian, kucing-kucing jantan berdatangan. Kuhitung di halaman rumah ada lima ekor. Ada yang warnanya oranye (kupikir itu bapaknya Kin), ada juga yang hitam (yang ini kukira bapaknya Kuro), ada yang belang-belang juga. Mereka mengeluarkan suara seperti suara bayi. Berisik sekali.
Pussy kubawa masuk rumah, lalu semua pintu dan jendela kututup. Tapi seperti yang sudah-sudah, kucing-kucing jantan itu pantang menyerah. Ada yang berhari-hari menunggu Pussy di halaman rumah. Ada juga beberapa yang naik ke plafon. Mereka berkelahi di sana. Akibatnya, plafon rumah jebol lagi.
Kalau dihitung-hitung sejak ada Pussy sampai sekarang Plafon rumah sudah jebol empat kali.
Pussy juga sering muntah di mana-mana.
Ibu marah lagi.
“Ayo, ucapkan selamat jalan pada Pussy.”
Aku yang sedang mengerkajan PR kaget mendengarnya. Hatiku langsung sedih.
“Ibu mau apa?”
Ibu bilang sudah nggak tahan lagi dengan tingkah kucing-kucing itu. Pussy akan dibuang lagi.
“Ya.. Ibu? Jangan….” Aku dan adik-adikku protes.
Tapi Ibu tetap dengan kemauannya. Pussy pun jadi dibuang. Kali ini di pasar yang lebih jauh tempatnya.
Aku sedih. Sedih sekali. Pussy adalah binatang kesayanganku. Dia sudah lama berada di rumah ini. Sudah pernah dibuang dan bisa kembali lagi. Masa dibuang lagi? Kalau dibuang, apakah bisa kembali lagi?
Aku sungguh berharap Pussy kembali lagi. Kadang-kadang aku membayangkan kalau tiba-tiba Pussy muncul saat kami bermain, atau mengerjakan PR. Tapi hari demi hari berganti, dan Pussy nggak pernah muncul lagi.
Kin dan Kuro semakin besar.
Lalu aku sakit. Aku batuk-batuk terus. Terutama di malam hari dan menjelang pagi. Kalau batuk-batuk, aku sering muntah. Tubuhku yang sudah kurus, makin kurus. Ayah dan Ibu membawaku ke dokter, tapi sampai obatnya habis, sepertinya aku belum sembuh betul.
Aku dan adik-adikku di tes mantoux, yaitu tes untuk mengetahui apakah paru-paru kami terkena penyakit. Caranya dengan menyuntikkan suatu cairan khusus di bawah kulit lenganku. Aduh..!! Sakit sekali waktu disuntik. Soalnya nyuntiknya pelan-pelan, biar obatnya tetap berada di bawah kulit, nggak masuk ke daging atau malah keluar lagi.
Tiga hari kemudian, lengan yang bekas disuntik dilihat lagi. Ternyata Bagus yang positif paru-parunya terganggu. Orang-orang bilang kena vlek. Aku dan Yudha nggak papa. Tapi batukku nggak sembuh-sembuh juga.
Hingga suatu hari, Ibu dan Ayah mengira, bulu-bulu kucinglah penyebabnya. Hal itu dibenarkan oleh dokter yang kami datangi.
“Kucing? Singkirkan!” kata dokter itu.
Oh my God! Akhirnya dengan berat hati aku mengantar Kin dan Kuro pergi.
Kin dan Kuro dimasukkan dalam tas besar yang pernah dipakai membuang Pussy dan Harimau. Dengan naik sepeda motor, Ibu, aku dan Mbak Umi, yang membantu Ibu di rumah, membawa Kin dan Kuro pergi jauh dari rumah, dan melepaskannya di dekat sebuah perumahan.
Aku nggak ingin mereka dibuang seperti itu. Tapi kalau tetap ada kucing di rumah, nanti sakitku nggak sembuh-sembuh.
Selamat jalan Kin dan Kuro. Jaga diri kalian baik-baik ya! Dan jangan lupakan aku!
Sepanjang jalan pulang aku ingin menangis rasanya.
Ayah dan Ibu lalu membelikan aku sepasang Hamster untuk ganti kucing-kucingku. Mereka kuberi nama Cana dan Cini.
Kenapa Hamster? Karena Hamster selalu ada di kandang dan nggak berkeliaran ke mana-mana. Mereka nggak akan tidur di kasurku dan meninggalkan bulu-bulu rontok di situ.
Tapi Hamster itu beda dengan kucing. Waktu aku ingin memegangnya, dia malah menggigit! Aduh sakit sekali! Ibu bahkan digigit sampai berdarah. Hamster bukan hewan jinak yang senang dipegang-pegang dan dimanja.
Sebenarnya aku suka hamster, tapi aku lebih suka kucing….. Aku mau Pussy, Harimau, Kini, Kin dan Kuro……
Hiks! Aku hanya bisa mengenang mereka sekarang……..
Akankah aku bisa bertemu dengan mereka lagi….???

TAMAT

pussy3

Belakangan ini aku sangat senang. Adik-adikku juga. Karena Pussy ada diantara kami lagi. Tahu nggak, aku dan adik-adikku punya kebiasaan sendiri-sendiri dalam menyayangi Pussy.
Aku senang mengusap-usap kepala Pussy. Kadang-kadang dia kupangku sambil kuusap-usap kepalanya, kalau aku sedang nonton TV. Pussy akan berbaring manja sambil mengeluarkan suara dengkuran dari lehernya. Kadang-kadang dia tertidur. Kalau nggak dilarang Ibu, aku ingin tidur dengan Pussy.
Yudha, adikku yang pertama, sukanya memegang kaki Pussy. Kalau Pussy tidur dia suka menggenggam kaki depannya sambil bilang, “Pussy nyayang aku.”
Yang paling lucu adalah Bagus. Dia suka sekali dengan ekor Pussy. Biasanya kalau nggak ketahuan Ibu, dia suka mengusap-usapkan ekor Pussy ke pipinya, sambil bilang, “Buntut Unyi! Buntut Unyi.” Sampai-sampai temanku yang bernama Rafly memanggil adikku itu dengan sebutan “Bagus Buntut Unyi.”
Tapi entah kenapa yang namanya KUCING, selalu saja punya masalah. Kali ini Harimau yang bikin masalah. Harimau sudah besar. Karena dia kucing jantan, dia merasa harus menandai daerah kekuasaannya dengan….pipisnya!
Aduh! Rumahku jadi bau pipis kucing. Harimau bukan hanya mengencingi tembok rumah, tapi juga gorden, kursi, pintu, bahkan lemari baju yang lupa ditutup pintunya. Tentu saja baju-baju kami jadi bau pipis kucing. Belum lagi kalau ada kucing jantan lain yang nggak mau kalah dengan Harimau. Ikut-ikutan mengencingi rumah kami. Bahkan tempat Sholat pun pernah dipipisi!
Wah….. Ibu marah lagi. Dan kali ini, Harimau yang dibuang!
Ya… Ibu….
Tapi Ibu bilang, kalau ada Pussy kan nanti Pussy punya anak lagi…
Sebenarnya aku sedih. Tapi karena ada Pussy di rumah, aku nggak terlalu memikirkannya.
Dan ternyata, kata-kata Ibu benar. Nggak lama kemudian Pussy hamil.
Makin lama perutnya makin besar. Kalau perutnya sudah besar, Pussy lebih sering tiduran dan malas-malasan. Sampai akhirnya, tiba waktunya Pussy melahirkan!
Seperti waktu melahirkan Harimau dulu, Ibu menyiapkan keranjang untuk Pussy. Keranjangnya diberi alas karpet kecil. Kami pun menunggi Pussy melahirkan.
Akhirnya, setelah berjuang (walau menurutku Pussy nggak merasa sesakit waktu melahirkan Harimau dulu), anak Pussy lahir. Warnanya oranye seperti Harimau.
Seperti yang dulu juga, Pussy menjilati anaknya, menggigit putus tali plasenta, dan memakannya…. Hoek! Ih, menjijikkan!
Lalu anak kedua Pussy lahir. Yang ini warnanya hitam. Tapi nggak hitam banget seperti kucingnya tukang sihir loh!
Sama seperti yang pertama, kamu sudah tahu, jadi nggak usah kuceritakan lagi apa yang dilakukan Pussy.
Ternyata kali ini cuma dua ekor anak Pussy yang lahir. Kukira lebih, karena perutnya masih besar.
“Perut Ibu juga besar, walaupun nggak ada bayinya.” Kata Ibu sambil tertawa.
Oleh Ibu, Anak-anak Pussy itu diberi nama Kin dan Kuro. Kata Ibu Kin artinya emas, dalam bahasa Jepang. Sedangkan Kuro artinya hitam. Maklum saja, Ibu dulu pernah kuliah di jurusan bahasa Jepang. Tapi sekarang ilmunya banyak yang terlupakan karena nggak pernah diamalkan. Tapi katanya Ibu mau belajar lagi, biar ingat lagi.
Kin dan Kuro lahir di kamarku. Bertepatan dengan hari ulang tahun Yudha, yaitu tanggal 3 desember. Yudha senang sekali. Kami semua merasa senang.
Setelah yakin nggak ada anak lagi yang dilahirkan, Ibu mengganti karpet yang kotor kena darah dan lendir dengan kain yang bersih. Lalu mendorong keranjang berisi Pussy dan anak-anaknya ke kolong meja. Kami nggak boleh membuat Pussy merasa nggak aman. Kalau enggak, bisa-bisa anak Pussy dipindahkan lagi.
Hampir setiap saat kami mengintip anak-anak Pussy. Mereka lucu-lucu, dengan mata yang masih merem kalau nggak tidur atau menyusu, berkeliaran di dalam keranjang. Sepertinya Pussy nggak merasa terganggu. Dia membiarakan saja kalau kami memegang-megang anak-anaknya. Tapi kalau kami memegang terlalu kuat dan Kin atau Kuro berbunyi, Pussy pasti langsung waspada dan menghampiri. Tapi Pussy nggak marah. Dia hanya memandangi kami.
Hingga suatu saat, dipagi hari yang masih gelap, Ibu membangunkanku.
“Sekar…. Sekar…. Anak kucingnya sudah melek!”
Aku segera terbangun.
Benar! Kulihat Kuro membuka matanya yang kecil. Ha ha, lucu sekali!
Rasa ngantukku segera hilang. Kubangunkan adik-adikku. Mereka pun senang melihat Kin dan Kuro sudah membuka matanya.
Semakin hari mereka semakin besar. Lama-lama, ASI Pussy saja nggak cukup. Mereka mulai butuh makan.
Akhirnya, mereka harus keluar dari kamarku. Kalau sudah mulai makan, berarti mereka akan mulai sering membuang kotoran. Jadi sekarang mereka ditaruh di belakang rumah. Tapi lucunya Kin dan Kuro nggak mau lagi tidur di keranjang mereka. Mereka malah memilih tidur di keranjang sepedaku!
Harimau sudah pergi. Tapi sebagai gantinya, aku mendapatkan Kin dan Kuro!
Alhamdulillah!!

pussy 2

PUSSY 2



Dua ekor kucing bermalas-malasan di teras rumah. Kelihatan mengantuk. Mereka adalah dua ekor anak Pussy, yang kuberi nama Harimau dan Kini.
Sekarang Harimau dan Kini sudah besar. Pussy nggak mau lagi mereka menyusu. Bahkan kalau mereka mendekat, Pussy akan marah-marah. Kasihan sekali Harimau dan Kini.
Aku sedang asyik memperhatikan kucing-kucingku, tiba-tiba kudengar Ibu marah karena Pussy pipis di dalam rumah, dekat meja makan. Ini bukan pertama kalinya.
Beberapa hari ini Pussy sering pipis di dalam rumah. Padahal biasanya dia pipis di pojok halaman yang sengaja diberi pasir. Dia juga sering muntah, mengotori lantai, kursi, bahkan kasur!
Yang lebih menjengkelkan Ibu, saat ini adalah musim kawin untuk kucing. Pussy yang cantik menjadi rebutan kucing-kucing jantan di komplek perumahan kami. Kucing-kucing jantan itu pantang menyerah. Meskipun Pussy sudah dikurung di dalam rumah, mereka tetap berusaha mendekatinya. Padahal nggak semua kucing jantan itu disukai Pussy.
Nggak jarang kucing-kucing itu naik ke atap rumah. Mereka pipis di mana-mana, membuat rumah bau. Bahkan kemarin, plafon di atas kamar Ibu jebol karena kucing-kucing itu, menimpa Ayah yang sedang tidur. Kebayang kan betapa jengkelnya Ibu?
“Ibu sudah putuskan, Pussy akan Ibu buang!” kata Ibu sambil mengepel lantai yang dipipisi Pussy. Ibu kelihatan capek sekali.
Aku kaget sekali mendengar kata-kata Ibu. Pussy akan dibuang? Oh! Tidak!!!
“Bu… jangan dibuang…..”
Tapi rupanya Ibu nggak bisa dibujuk. Ibu bilang terlalu banyak kucing di rumah ini. Dan yang paling merepotkan adalah Pussy. Ibu hanya membolehkan seekor kucing saja di rumah. Jadi akhirnya aku memilih Harimau, dan merelakan dua ekor kucing lainnya, Pussy dan Kini, dibuang.
Aku sedih sekali ketika Ibu memasukkan Pussy dan Kini ke dalam tas besar dan membawanya pergi. Ibu akan membuangnya ke pasar. Karena menurut Ibu di pasar banyak makanan, jadi Pussy dan Kini nggak akan kelaparan.
Aku hanya bisa memeluk Harimau sambil menangis.
Kenapa, Bu? Kenapa? Padahal mereka begitu manis dan lucu?
Sekarang tinggal Harimau yang ada di rumah. Tapi sepertinya Harimau nggak merasa sedih. Dia tenang-tenang saja walau Ibu dan adiknya nggak ada lagi di rumah. Bahkan mungkin dia merasa senang karena nggak perlu berebut makanan dengan Kini. Harimau juga nggak perlu iri karena sekarang cuma dia yang akan kupeluk dan diajak bermain.
Setiap hari aku teringat Pussy. Sedih rasanya.
Tapi lama-lama, walaupun aku nggak bisa melupakan Pussy, aku nggak terlalu sedih lagi.
* * *

Aku sedang mengambil air minum. Tiba-tiba kurasakan kakiku disentuh bulu-bulu halus. Membuatku geli.
“Harimau! Awas nanti minumnya tumpah!” kataku.
Kuminum air dalam gelas, setelah itu kuletakkan gelas di atas meja.
“Meoong….”
Aku menunduk.
“Pussy!!!” jeritku terkejut. Aku mengucek-ucek mata. Pasti salah lihat!
Tapi tetap saja kucing yang ada di kakiku itu Pussy, bukan Harimau. Tapi Pussy kurus sekali. Dia juga kotor. Entah berapa hari yang diperlukan Pussy untuk mencari jalan kembali ke rumah ini.
Aku menangis karena gembira dan sedih. Aku gembira karena Pussy kembali. Tapi aku sedih karena dia kurus dan kotor. Pasti menderita.
Pussy kumandikan. Lalu kuberi makan dan minum susu. Harimau hanya melihat ketika induknya makan.
Aku lalu bilang pada Ibu kalau Pussy sudah kembali. Tapi sendirian, nggak bersama Kini. Ibu heran karena Pussy bisa kembali lagi.
Aku minta pada Ibu supaya Pussy boleh tinggal di rumah lagi.
Ibu kelihatan serba salah. Tapi akhirnya Ibu mengizinkan Pussy tinggal.
Alhamdulillah.
“Horeeey! Terimakasih Ibu!” kupeluk Ibu, kucium kedua pipinya. Lalu aku berlari ke tempat Pussy.
Pussy! Pussy sayang! Jangan pergi lagi ya!

pussy

Hallo! Namaku Sekar. Lengkapnya Dewi Sekar Arum. Usiaku delapan tahun. Aku kelas 2A di SD Jaya Suti Abadi, Tambun, Bekasi.

Hobiku membaca. Kalau sedang membaca, aku betah membaca berjam-jam lamanya, sampai-sampai ibuku sering mengingatkan aku untuk istirahat. Yang paling kusuka adalah membaca dongeng seperti Cinderella, Putih Salju, Pangeran Angsa dan semua cerita seperti itu. Tapi kadang-kadang aku juga membaca buku yang tebal seperti cerita Lima Sekawannya Enid Blyton. Kamu tahu cerita Lima Sekawan? Kata ibuku, cerita Lima Sekawan itu sudah lama. Pengarangnya bahkan sudah meninggal dunia ketika ibuku baru mulai membacanya. Ceritanya bagus lho!

Hobiku yang lain adalah menggambar. Aku paling suka menggambar putri dan pangeran. Selain itu, aku juga suka menggambar ikan, kucing dan binatang lainnya.
Aku sangat suka kucing. Kucing adalah binatang kesayanganku.
Aku punya kucing. Kucing cantik dengan belang tiga di tubuhnya. Namanya Pussy. Pussy datang sendiri ke rumah kami. Karena kami sayang dan sering memberinya makan, Pussy jadi betah berada di rumah.

ibuku kurang suka pada kucing. Soalnya kadang-kadang Pussy mengotori rumah dengan pipis dan muntahannya. Kadang-kadang juga mencuri ikan. Padahal Pussy itu lucu.
Tapi Ibu nggak tega kalau Pussy mengeong-ngeong minta makan. Biasanya Ibu akan memberinya makan berupa ikan yang dicampur dengan nasi. Bahkan setiap hari Ibu membeli ikan pindang keranjang, khusus buat Pussy. Kadang aku heran, nggak suka kucing tapi kok telaten memberi makan. Kata Ibu sih, memberi makannya karena ingat kalau kucing itu mahluk Allah juga.

Suatu hari Pussy bunting. Bunting itu hamil. Makin lama perutnya makin besar. Dan ketika tiba waktunya melahirkan, Pussy mendatangi Ibu. Dia mengeong-ngeong. Tadinya Ibu mengira dia minta makan. Tapi Pussy tidak mau makan. Dia hanya mendekam di lantai.
Ibu melihat sebentar-sebentar perut Pussy menegang. Dia juga kelihatan kesakitan. Nafasnya pendek-pendek, seperti kalau kamu habis lari muterin lapangan. Meongnya juga pelan. Saat itu Ibu tahu kalau Pussy akan melahirkan.

Ibu mengambil keranjang dan kain bekas. Kain itu dimasukkan dalam keranjang. Setelah itu Pussy yang dimasukkan dalam keranjang. Ibu menunggui Pussy sambil sebentar-sebentar mengusap perutnya. Perut Pussy, maksudku, bukan perut Ibuku!
Aku ingin tahu, tapi juga takut waktu melihat Pussy melahirkan. Dia kelihatan kesakitan dan bayinya susah keluar. Aku melihat seperti ada bola yang mau keluar dari pantat Pussy. Dia ingin menjilati perutnya. Tapi karena perutnya besar, lidah Pussy tidak bisa mencapainya. Jadinya Pussy berguling-guling nggak karuan di dalam keranjang. Lalu dia ngeden. Tapi bayinya nggak keluar-keluar. Kasihan sekali.

Akhirnya, setelah bersusah payah, dan dengan diberi semangat oleh Ibu, bayi pertama Pussy lahir! Aku merasa sangat lega.
Bayi itu belepotan lendir dan darah. Pussy lalu menjilatinya. Setelah itu dia menggigit putus –apa yang oleh Ibu disebut- plasenta. Plasenta adalah organ khusus yang berfungsi sebagai saluran penerimaan nutrisi dari ibu dan bayi. Menurutku sih itu seperti usus. Setelah plasenta putus, Pussy memakannya.

“Kenapa dimakan?” tanyaku heran.
Ibu juga nggak tahu kenapa. Tapi kata Ibu mungkin karena di dalam plasenta banyak protein dan gizinya. Sayang kalau dibuang…. Ihh!!…. Perutku langsung mual!!
Setelah memakan plasenta, Pussy menjilati bayinya lagi.
Tapi tiba-tiba dia ngeden lagi.

“Bayinya mau keluar lagi.” Kata Ibu.
Haa…? Memangnya di dalam perut Pussy masih ada bayi lagi? Berapa ekor?
Ibu nggak tahu berapa banyaknya. Tapi kucing bisa punya lebih dari satu bayi sekali melahirkan. Bahkan ada yang sampai lima ekor! Lima ekor? Bayangkan! Pasti lucu sekali! Tapi pasti mengurusnya juga susah. Soalnya mengurus aku dan dua orang adikku saja Ibu sudah sering kerepotan. Waktu kukatakan itu pada Ibu, Ibu malah tertawa.

“Mengurus bayi kucing dengan bayi orang beda dong! Bayi kucing nggak perlu dimandikan, dipakaikan popok dan digendong-gendong. Yang penting dia kenyang dan bersih sudah cukup. Oh ya, ada lagi. Bayi kucing harus berada di tempat yang aman. Kalau induknya merasa bayinya nggak aman, dia akan memindahkan anak-anaknya ke tempat aman. Biasanya sih di atas rumah, di gudang atau tempat tersembunyi lainnya.”

Akhirnya bayi kedua Pussy lahir. Lalu di susul bayi yang ketiga.
Seperti yang pertama, setiap bayinya lahir, Pussy menjilati anaknya dan kemudian menggigit putus tali plasentanya. Lalu memakannya. Aduh, perutku masih mual setiap kali mengingat hal itu.

Bayi Pussy yang pertama dan ketiga berwarna oranye. Yang kedua berwarna putih, oranye dan hitam. Mereka lucu-lucu.

Ibu lalu menindahkan kucing-kucing itu ke kardus bekas yang bersih. Di sana anak-anaknya dijilati sampai bersih. Satu anak Pussy, yang kemudian kuberi nama Harimau, menyusu dengan lahap. Tapi dua anak lainnya, masih merangkak ke sana-sini. Ada yang ke belakang kepala induknya, ada masuk di bawah kaki.

Kucoba mengangkat anak-anak kucing itu ke dekat putting susu induknya. Tapi mereka sepertinya nggak tahu, soalnya bukannya menyusu, mereka malah berkeliaran lagi. Mungkin mereka pingin tahu, seperti apa sih, dunia diluar perut induknya? Padahal mereka masih merem. Belum bisa melihat apa-apa.

Aku, adik-adikku dan teman-temanku setiap hari melihat anak-anak Pussy.
Mungkin karena merasa kurang aman, Pussy membawa anak-anaknya pergi. Dia menggendong anaknya dengan cara menggigit tengkuknya.

Yang pertama didatanginya adalah lemari pakaian. Tapi Ibu menutup semua pintu lemari rapat-rapat. Akhirnya Pussy pergi keluar rumah. Aku nggak tahu ke mana. Tapi beberapa saat kemudian Pussy kembali untuk mengambil anaknya yang lain. Sampai akhirnya semua anak Pussy dibawanya pergi.

Sejak itu anak-anak kucing yang lucu itu nggak bisa kami lihat lagi. Kalau Pussy sih, masih tetap di rumah kami. Tidur-tiduran di kursi, meong-meong minta makan. Tapi anaknya entah dimana.

Lalu suatu hari, ketika aku sudah hampir lupa kalau Pussy pernah punya anak, aku melihat dua ekor kucing kecil di dekat Pussy yang sedang tiduran di atas keset di depan rumah. Kucing-kucing itu berwarna oranye. Mereka sedang bermain-main dengan ekor Pussy yang bergoyang kekiri dan kekanan.

“Horee!!! Anak-anak Pussy sudah kembali!!” Sorakku.

Aku senang sekali, walaupun cuma dua ekor anak Pussy yang kembali. Yang seekor lagi, yang warnanya hitam putih, mungkin mati atau hilang. Kami tidak pernah melihatnya lagi.
Anak-anak Pussy takut ketika kudekati. Mereka berlari ke bawah kursi, menegakkan bulu-bulunya sambil menyeringai memperlihatkan taring mereka yang mungil dan mengeluarkan suara yang mungkin menurut mereka menyeramkan. Tapi menurutku, mereka lucu!!
Aku berusaha menggapai mereka. Tapi anak-anak kucing itu mencakarku! Aduh! Sakit! Tanganku sampai berdarah kena cakaran mereka.

Tapi aku nggak kapok. Tiap hari aku tetap mendekati mereka. Kadang-kadang waktu mereka menyusu, aku mendekat dan mengusap-usap bulu lembut mereka. Lama-lama mereka mengenalku dan juga adik-adikku. Mereka nggak takut lagi.

Sekarang mereka tinggal di kolong tempat tidurku. Di situlah mereka menyusu dan tidur.
Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak setuju mereka berada di dalam rumah. Apalagi di dalam kamarku. Tapi karena mereka masih kecil, akhirnya Ayah dan Ibu membiarkan saja. Tapi nanti kalau sudah besar, mereka harus tidur di luar rumah.
Kini setiap hari, aku bisa bermain dengan anak-anak Pussy.
Aduh senangnya!!!

Kamis, 21 Agustus 2008

Debu Luruh di Kaliurang




Debu luruh di Kaliurang


Daya tarik apakah yang membuat pendaki gunung rela bersusah payah menerabas semak, menuruni tebing, memintas lembah dan bukit, hanya untuk sampai ke puncak gunung yang sunyi, asing, dan menghanyutkan ?
Padahal marabahaya yang mengancam dalam perjalanan semacam itu tidaklah kecil. Pendaki gunung dan penjelajah hutan sekaliber Norman Edwin dan Didik Samsu sekalipun akhirnya kehilangan nyawa dalam pendakian yang akhirnya menjadi petualangan terakhirnya. Norman Edwin adalah pendaki senior, pernah menjadi wartawan Kompas, dan salah satu awak perahu dalam pengarungan perahu phinisi Nusantara. Pengalaman dan kemampuannya dalam penjelajahan tak perlu diragukan.

Didik dan Norman tergabung dalam tim Seven Summit Expedition 1992 Mapala UI, sebuah ekspedisi penaklukan 7 puncak-puncak tertinggi dunia . Dalam upaya menaklukkan gunung Aconcagua di Amerika Selatan, tim ini diserang badai salju. Norman dan Didik akhirnya tidak pernah sampai puncak. Keduanya ditemukan mati dalam beku di lokasi terpisah. Norman tinggal 200 meter lagi menjelang puncak. Salah satu mayat ditemukan dalam posisi duduk seperti orang sedang istirahat. Sungguh kematian yang tak terceritakan. Ironisnya Norman adalah penulis buku "Mari Mendaki Gunung dengan Aman dan Nyaman"?

Ada satu buku tentang tragedi dalam pendakian gunung berjudul "Into thin air" yang membuat saya mual setelah membacanya. Buku ini mengisahkan pendakian gunung Himalaya oleh wartawan AS melalui jasa pemandu professional yang berakhir dengan tragedi: satu per satu pendaki tewas terjebak badai salju. Jangan grogi, saya membacanya dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia?

Namun bagi yang pernah mendaki gunung, barangkali sepakat bahwa memang ada suatu perasaan lain, suatu sensasi yang menentramkan jiwa saat berhadapan dengan tebing-tebing tinggi, jurang dalam, dan bukit-bukit terjal ?segala hal ciptaan-Nya yang berdimensi serba raksasa dibanding manusia-. Manusia tiba-tiba seperti mengecil dan problem yang dihadapinya menjadi 'bukan apa-apa'. Bukankah kita ini ibarat hanya sebutir pasir dari perjalanan alam raya yang panjang ini ? Jadi masalah yang manusia hadapi: kegagalan, kejatuhan, patah hati, atau kesuksesan, stasi, kekayaan yang diraih, semua hanyalah a little part of the long-long journey of the world?

Bagi kita yang hidup di kota sebesar Jakarta, sejenak kontemplasi saat berhadapan dengan ciptaan-Nya yang serba raksasa tadi barangkali bisa menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang lelah didera mantra "sukses", "kaya", "uang" yang dipompakan ke pikiran kita setiap saat. Kalau ke Gramedia cobalah iseng-iseng ke komputer katalognya dan ketikkan kata kunci "kaya" di software pencari. Dan temukan entah berapa lusin buku dengan judul demikian.

Karena itulah ketika mendengar kabar gunung Merapi meletus dan di Kompas terpampang foto-foto banjir lahar panas menyapu desa Kaliadem, langsung terbetik dalam hati untuk suatu saat mengunjunginya. Foto-foto itu sungguh dahsyat, tetapi pengalaman menunjukkan kalau melihat langsung ke lokasi, foto tidaklah mampu menggambarkan 100% yang sesungguhnya?.

Dan begitulah.
Juli 2006. Saya mengunjungi Jogja pasca Gempa. Antonov saya tersengal-sengal mendaki lereng Kaliurang. Dari kejauhan tampak puncak Merapi yang tegak (karena gunung ini sering meletus, maka puncaknya berbentuk runcing). Samar-samat terlihat lapisan debu dan lahar seperti salju di sepanjang punggung Merapi. Sebenarnya ada beberapa pintu masuk untuk mendekat ke Merapi, antara lain Kaliadem (tempat terjadinya luncuran lahar panas yang menewaskan 2 sukarelawan) dan Kaliurang. Saya memilih Kaliurang karena ini tempat wisata sehingga infrastrukturnya lebih baik dan bertahun-tahun lalu, sekitar 1994 saya pernah mengunjunginya dan ingin tahu bagaimana kondisinya sekarang.
Tetapi apa yang terjadi ? Kaliurang seperti kawasan mati. Tempat ini dalam kondisi normal adalah seperti Puncak-nya Bogor. Hotel, penginapan, warung mendominasi bangunan di sana. Tetapi siang itu, saya hampir-hampir tidak berjumpa seorang pun. Pintu-pintu penginapan terkunci rapat. Warung-warung tutup. Debu luruh di mana-mana: menyelimuti dedaunan, jalanan, rerumputan. Hanya seorang nenek berjualan buah-buah usang di suatu sudut ditemani seekor anjing. Kemudian penjual foto-foto Merapi. Tanpa pembeli. Beberapa orang duduk-duduk kongkow, tapi mereka tidak mengacuhkan kami. Di pelataran parkir yang sebenarnya merupakan terminal angkutan umum, selain Antonov saya, hanya ada sebuah Boeing (baca: Kijang) berplat B. Sama-sama turis kesasar.
Tetapi ternyata semua akses masuk untuk mendekat ke Merapi telah dibarikade. Tertutup bagi pengunjung karena masih berbahaya. Dengan kecewa karena gagal menyaksikan dahsyatnya lahar Merapi saya memutuskan pulang. Saat kami beranjak ke mobil, seorang penduduk setempat membisikkan sesuatu yang membuat terperanjat: tawaran memandu ke Merapi dengan menyelundup melalui Kaliadem. Oh, sungguh tawaran yang menggoda...Tapi apa boleh buat, akal sehat harus dikedepankan. Rombongan saya banyak anak-anak kecil dan pemerintah sendiri telah melarang pengunjung untuk masuk lebih jauh. Waktu itu kondisi Merapi masih dianggap berbahaya. Dengan hati berat kami menolak tawaran itu..
Dengan lunglai, Antonovpun meluncur turun dengan tekad suatu saat nanti Insya Allah saya akan kembali.

Selasa, 19 Agustus 2008

Perjalanan haji 2006





Bandara King Abdul Aziz Jeddah, menjelang tengah malam di Januari 2007.

Saya menyandarkan diri ke bangku panjang di ruang tunggu. Menunggu pesawat yang akan membawa kembali ke tanah air. Ruang tunggu sangat ramai, penuh jamaah haji dari berbagai negara. Suasana santai, ada yang tidur-tiduran, ngobrol atau ngemil. Akhirnya selesai juga perjalanan ini. "Mission accomplished" bisik saya pada istri di samping. (Belakangan harus saya ralat. Mestinya "The adventure will be continued". Dalam penerbangan pulang, pesawat kami dihadang cuaca buruk sebagaimana telah diumumkan pilot sebelumnya. Pesawat terguncang-guncang. Berkali-kali. Bermenit-menit. Di tengah tragedy Adam air yang lamat-lamat beritanya sampai ke kami, tentu ini suatu ketegangan tersendir...)

Tiga minggu kami telah mengalami berbagai hal. Dengan tekad "Menjadikan setiap perjalanan petualangan yang mengesankan" (tentu saja di samping pahala juga), kami telah memperoleh lebih dari yang kami harap: 'Lost in Arafah'. 'Transportation teror' di Mina. Rendezvous di Mekah. Tragedi handphone. Dll. Plus bonus: setelah 10 tahun perkawinan, pergi berdua saja dengan pasanganmu untuk jangka waktu yang lama, niscaya akan memberimu pengalaman berbeda. You should try it, guys !


Ya, tiga minggu lalu kami tiba di bandara ini dengan suasana jauh berbeda. Letih karena penerbangan non stop 9 jam dari Jakarta. Tegang karena inilah "when dream come true". Sebagaimana umat Islam lain, kami telah mengidam-idamkan perjalanan ini begitu lama. Kami agak terkejut ketika mendapati bandara kelas internasional ini begitu bersahaja. Lantai semen dengan bangku-bangku keras. Kami digiring, berjajar-jajar, dari satu pemeriksaan ke pemeriksaan lain. Imigrasi dan semacamnya. Saya sempat berpikir, wah kok kita seperti tawanan ya ? (Info yang saya bahwa memang lokasi tsb khusus untuk penerimaan jamaah haji. Mungkin karena saking banyaknya jamaah haji, semua fasilitas dibuat sederhana).Petugas dari Arab sebagian berlaku ramah dan mencoba mengajak kami bertegur sapa. Tapi lebih banyak lagi yang menatap kami dengan tajam, terutama kepada jamaah wanita kami, membuat kami jengah.

Tapi ada sebab lain yang membuat kami merasa tegang.
Ada sesuatu yang saya dan istri sembunyikan: kehamilan istri saya. Ya, ketegangan perjalanan ini telah dimulai jauh-jauh hari. Ketika dalam persiapan sebelumnya kami mendapati bahwa istri saya ternyata hamil. Dan terdapat ketentuan pemerintah bahwa wanita yang hamil dilarang berhaji. Saya berunding dengan istri, dan keputusannya: misi jalan terus. Sebab belum tentu tahun depan kami bisa mendapat kesempatan sebaik sekarang. Dan tidak ada jaminan tahun depan tidak hamil lagi..

Maka segala cara terpaksa ditempuh. Antara lain untuk lolos tes kesehatan. Tidak bisa saya ungkapkan di sini. Ya Tuhan, ampunilah kami, ini sungguh terpaksa..

Di bandara Soekarno Hatta, kami bisa lolos dengan menyamarkan dandanan. Istri saya memakai jaket tebal, menggantungkan tas di tubuh bagian depan, menutupi perut yang hamil 5 bulan, dan bergabung dengan ibu-ibu yang berpostur extra large...(sepulang haji, saya mendengar seorang jamaah haji batal berangkat dari bandara Batam karena ketahuan hamil. Jadi kami termasuk beruntung )

Sekarang di bandara Jeddah, pemeriksaan dilakukan lagi oleh petugas kesehatan Arab Saudi secara sampling. Apakah pemerintah Arab juga melarang hal ini? Bagaimana kalau ketahuan ? Apakah akan dideportasi ?

Petugas kesehatan semakin dekat. Meminta buku kesehatan. Meneliti dengan cermat. Langkahnya sudah hampir sampai istri saya. Jantung saya bagai berhenti berdetak. Doa tak putus-putus kami panjatkan....







Akhirnya sampailah petugas itu ke istri saya. Meminta buku kesehatan, menatap sejenak. Saya menahan nafas. Dan petugas itu melangkah ke jamaah berikutnya....Lolos ! Now, they cannot stop us anymore ..!

Pulang, (sebentar lagi lebaran)






P ulang ! Adakah yang lebih menyenangkan selain dari pada pulang ?
Itulah sebaris kalimat pembuka artikel di Tempo lawas, menggambarkan suasana gembira prajurit TNI yg sedang berkemas-kemas. Mereka terpaksa ditarik pulang dari Timor-Timur pasca insiden Dili Nov 1991 di mana terjadi demo yang berbuntut kerusuhan dan penembakan. Kontras dng kondisi pemerintah yg mendapat tekanan internasional , para parajurit merasa gembira karena setelah berbulan-bulan bertugas dalam ketegangan dan bahaya maut mengintai setiap saat, maka adakah yang lebih menyenangkan selain dari pada pulang ?

Itulah kalimat yg terpikir oleh saya saat akan mudik lebaran. Setelah hari-hari yg penuh tekanan di Jakarta, maka mudik adalah seperti katup pelepasan, di mana orang seperti mendapat legitimasi untuk sejenak bersenang-senang. Entah, apakah mudik ini instink primitif sebagaimana burung-burung bermigrasi tiap tahun, atau sekedar kerinduan sentimentil akan kampung halaman, atau justru nafsu tersamar untuk pamer 'kesuksesan'... Yang jelas jutaan orang menjalaninya dng suka cita. Bahkan membicarakan rencana mudik saja sudah menimbulkan gairah tersendiri...
-----oOo------

1 Nov 2005, awal dari mimpi.
Secara berurutan saya memasukkan gigi persnelling 1 sampai 5 dan menikmati hentakan halus (tepatnya getaran) dari tiap peningkatan percepatan di etape Bekasi-Bandung. Hmm..mobil tjap Matjan ini mungkin tidaklah senyaman Honda Jazz yg kira-kira setara Biz jet-nya British Aerospace di dunia penerbangan, atau se-responsif Escudo 2.0 Ratu series jatah manager UCC (maksudnya Ra tuku , kagak beli he..he..) yg kalo pesawat setara F-15 Eagle. Tjap Matjan ini kira-kira hanyalah setara pesawat Antonov buatan Rusia: besar, kokoh, tapi berisik. Tapi buat keluarga saya yg gagal melaksanakan program KB, ini sudah sangat memadai: anak-anak saya bisa bermain dng leluasa di kabin belakang yg luas.
Beribu-ribu motor, mobil mengarah ke timur. Resiko perjalanan seperti ini tidaklah kecil. Beberapa dari mereka mungkin tidak pernah sampai di kampungnya.....Teringat saya akan kisah di buku "Perang Pasifik" karya PK Ojong. Waktu itu tentara Sekutu bergerak maju ke arah Jepang dng merebut satu demi satu pulau di gugus kepulauan Pasifik. Dan tiap pendaratan amfibi selalu mengandung resiko besar, karena musuh sudah menunggu dng siap sedia di pantai, pasti akan ada korban dari pihak penyerbu.

Saat akan mendarat di pulau Saipan yg dipertahankan sangat kuat oleh Jepang, pendeta tentara Sekutu melalui pengeras suara berucap: "Dengan pertolongan Tuhan kita akan menang. Kebanyakan Saudara-Saudara akan kembali, tetapi sebagian dari Saudara hari ini akan menghadap Tuhan yang menciptakan kalian. Bertobatlah atas dosa-dosamu...bagi yg beragama Yahudi ikuti kata-kata saya (lalu dibacakannya doa agama Yahudi)....bagi yg beragama Kristen ikuti kata-kata saya..(dibacakannya doa agama Kristen)...."
Dan sebagian dari pemudik ini tidak akan pernah kembali ke rumahnya...

Djalan-djalan di Djogya



DJALAN-DJALAN DI DJOGJA


Alun-alun keraton Jogja, suatu siang yang panas di penghujung2004. Beberapa abang becak langsung mendekat begitu saya selesai memarkir kendaraan. Bermaksud berjalan kaki saja untuk melihat-lihat keraton,namun panasnya cuaca siang itu sementara saya juga bersama anak-anak, maka terpaksa saya urungkan niat. Dan astaga, abang becak tersebut menawarkan tarifhanya Rp 2.000; untuk jasa mengantar ke lokasi pembuatan batik, kaos dagadu,bakpia pathok, museum kereta, dan siti hinggil, pulang pergi !


Terbiasa oleh paranoidnya Jakarta tentu saja saya curiga, mana mungkin perjalanan ke begitu banyak tempat hanya tarif segitu, jangan-jangan inisebuah jebakan: nanti minta ongkos lebih..Tapi famili saya yg asliJogja menyiratkan untuk don't worry man ! Masih dengan sedikit keraguan,akhirnya saya menyewa 3 becak. Tempat pembuatan batik tidak terlalu menarik bagi saya, sehingga sayahanya sebentar di situ. Becak lalu melaju ke counter kaos Dagadu, salah satu trade mark Jogja. Kualitas bahannya tidak terlalu bagus, maklum harganya juga hanya berkisar 30-40 ribu, tetapi gambar dan tulisannya sungguh unik dan lucu-lucu. Diantaranya: "Tahanan Mertua: http://mail1.plasa.com/Redirect/www.menantutertindas.com " Tentu saja saya tidak mungkin membelinya, sebab waktu itu saya bareng Ibu mertua... Sayang kaos bertuliskan " http://mail1.plasa.com/Redirect/www.menantukesayangan.com " tidak ada he..he...


Sebelah counter Dagadu adalah sentra bakpia pathok dan berbagai makanan khas Jogja. Saya membeli beberapa, tetapi harganya harga 'daerahwisata'. Kalo di Kotagede -kampung istri saya- saya bisa memperoleh barang yg samadng harga yg lebih murah.


Selanjutnya adalah museum kereta, yg berisikereta-kereta kuda yg pernah dipakai pihak keraton Jogja. Sayang sekalitidak tersedia deskripsi maupun informasi yg cukup mengenai sejarah keretatersebut sehingga kereta-kereta tersebut serasa tidak lebih dari sekumpulan alat transportasi tempo doeloe. Beberapa diantaranya sangat indah yg mungkindulu jadi kendaraannya para pangeran. Ada juga ambulan tempo doeloe alias kereta jenazah. Mengingat seluruh benda tsb sudah berumur tua sehingga agaksedikit menimbulkan sugesti angker.


Tempat terakhir yg saya kunjungi adalah SitiHinggil di dalam keraton, yakni sebuah tempat rakyat untuk sowan/menghadap raja. Sama juga, tidak tersedia informasi yg memadai mengenaibangunan-bangunan dan objek bersejarah di situ.


Sepanjang dari satu lokasi ke lokasi lain para abang becak ini samasekali tidak terburu-buru, dengan sabar menunggu kami untuk melihat-lihatsepuasnya. Di akhir perjalanan, abang becak ternyata betul hanya meminta ongkos Rp2.000; tapi tentu saja saya cukup berperikemanusiaan untuk memberi ongkos lebih. Informasi yg saya peroleh, mereka akan mendapat tip dari counter yg dikunjungi penumpangnya, dan diantara abang becak ini sudah ada semacam kesepakatan untuk menjaga citra, misalnya dengan tidak meminta ongkos lebih darikesepakatan. Sebuah contoh organisasi profesi yg berhasil mengatur dirinya sendiri



!-----------------------------------oOo-------------------------------------



Di hari lain, saya berkesempatan mengunjungi museum Dirgantara TNI AU.Berisi puluhan pesawat terbang yg pernah dimiliki Indonesia. Koleksi yg palinghebat adalah sebuah pesawat pembom strategis TU-16 buatan pabrik pesawatTupolev Rusia. Pesawat ini dibeli Indonesia dalam rangka persiapan merebutkembali Irian Barat tahun 60-an.

Seingat saya di majalah Angkasa pernah ditulis,Indonesia adalah salah satu negara di luar Rusia yg pertama-tama diijinkan membeli pesawat ini. Terlihat begitu besar dan garang terparkir dipelataran museum dengan 2 rudal besar di cantelan sayapnya. Bisa dibayangkanberapa ton bom yg bisa diangkutnya mengingat pesawat segede itu memang hanya digunakan untuk membawa bom dan rudal. Konon salah satu yang menyebabkan Belanda pilih angkat kaki dari Irian tanpa terjadi perang terbuka adalah setelah mengetahui Indonesia memiliki 2 skadron (24 pesawat) TU-16 !


Entah bagaimana parapenerbang Indonesia di tahun 60-an sudah memiliki kemampuan menerbangkan pembom raksasa ini. Sekedar catatan, Indonesia tidak pernah lagimemiliki pembom strategis pasca TU-16. Memang kita memiliki F-16 dari AS (dan belakangan Sukhoi dari Rusia) , tetapi itu adalah pembom tempur taktis yg ukurannya tidak ada apa-apanya denganTU-16.


Di dalam gedung museum, koleksi lain yg cukup menarik adalah deretan pesawat eks PD II, MIG 17 - 21 buatan Rusia, juga reruntuh pesawat DakotaIndonesia yg ditembak Belanda saat membawa obat-obatan dari Burma. Juga diorama ygmenggambarkan operasi Trikora dalam perebutan Irian.

Sejenak saya termenung di sebuah papan marmer bertuliskan berpuluh-puluh nama prajurit/sukarelawan yang gugur di Irian. Ah siapakah ini, anak-anak muda yg rela meninggalkan keluarga, orang tua, pacar, istri, untuk menuju suatu tempat di mana akhirnya mereka kehilangan satu-satunya milik mereka yg paling berharga yakni nyawa mereka...mati dalam hutan-hutan sunyi di Irian atas nama nasionalisme,cinta tanah air dan bela negara yang barangkali terdengar absurd di jaman kitayang hedonis ini.


Sejenak perasaan respek dan hormat menyelimuti saya memandang deretan nama tersebut. Barangkali seperti yg diucapkan prajurit AS dalam film "Blackhawk Down" yang diambil dari kisah nyata pertempuran di Somalia, "Ketika sebuah peluru telah mengarah kepadamu, maka politik dan segalanya ini tidak berarti lagi. Semua telah berakhir"...Dan kinimereka semua telah berakhir, tinggal deretan nama di papan marmer...--------------------------



Masih begitu banyak tempat menarik di Jogja. Hari-hari yg merangkak pelan. Makan malam lesehan di pinggir-pinggir jalan yang ngangeni. Komunitas mahasiswa yg mengingatkan romantika kuliah. Memang Jogja seperti tulisandi kaos Dagadu "Everyday is weekend in Jogja".....ah----oOo------ -

Manusia yang sempurna


Kau begitu sempurna
Dimataku kau begitu indah
Kau membuat diriku akan slalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan slalu memikirkan dirimu
Tak dapat kubayangkan hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku
Tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku kau begitu sempurna

Kau genggam tanganku
Saat ku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku…

Lagu sempurna versi slow yang dinyanyikan Gita Gutawa mengalun membelai telinga dan hatiku.
Manusia adalah mahluk yang sempurna. Paling sempurna diantara semua mahluk. Namun begitu, tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
Menurutku, manusia sempurna yang digambarkan oleh Gita Gutawa adalah setiap individu. Nyanyikanlah lagu itu untuk diri kita sendiri. Semoga dengan begitu, kita benar-benar menjadi manusia yang sempurna.
Dan kalau kita menyanyikan lagu itu untuk orang lain, sepantasnyalah lagu itu dipersembahkan untuk orangtua kita, terutama ibu.
Karena kita pernah berada di dalam tubuhnya, hidup melalui darah dan jantungnya. Karena Ibulah yang selalu menerima kita apa adanya. Menghibur dan menenangkan kita.
Setidaknya, itulah yang saya rasakan tentang ibu saya.

Seperti lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh

Lewati rintangan untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan

walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan

Tak mampu kumembalas...

Ibu... Ibu...

Senin, 18 Agustus 2008

Nasi Bukhori




Bulan puasa telah berjalan selama beberapa hari. Seperti biasanya bulan puasa, menu buka puasa terdiri dari kolak, es buah dan lain-lainnya.

Bosan dengan masakan di rumah, kamipun memutuskan untuk makan di luar. Setelah sholat maghrib kami berangkat.

Langit Bekasi telah gelap ketika kami menyusuri jalanan dengan isuzu panther kami, yang oleh suamiku lebih sering disebut sebagai ‘antonov’, karena menurutnya ketangguhan dan keberisikan panther kami seperti pesawat antonov buatan rusia yang mampu membawa pesawat ulang-alik di punggungnya –dalam hal ini panther kami mempu mengangkut suamiku, aku, keempat anak kami dan seorang pembantu..hehe.

Lampu-lampu jalan dan kendaraan silih berganti menerangi, kadang-kadang menyilaukan mata. Entah berapa kilometer sudah kami tempuh, ternyata rumah makan, restoran sampai warung-warung tenda yang kami lewati telah penuh oleh orang-orang yang berbuka puasa. Dalam hati aku berpikir, kenapa sih mereka semua buka puasa di luar rumah…?
Segelas kolak yang kusantap saat adzan maghrib tadi tak cukup membuat perutku berhenti keroncongan.

Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali makan nasi bukhori. Terbayang di depan mataku nasi berwarna kuning, dengan lauk ayam bakar, cabe hijau besar dan irisan jeruk nipis…. Hemmm… air liurku sulit dibendung.

Aku mengenal Nasi Bukhori ketika pergi berhaji thn 2006. Alhamdulillah ketika itu aku dan suami dapat berangkat ke tanah suci. Padahal aku sedang hamil 6 bulan. Dan alhamdulillah, bersama kami, walau dari daerah dan kloter yang berbeda, berangkat juga 2 orang kakakku. Yang seorang kakak laki-lakiku dari Surabaya, seorang lagi kakak perempuanku dari Jakarta (walau tinggalnya di Bandung), bersama suaminya. Aku dan suami dari Jakarta juga, tapi dengan KBIH plus bernama Wisata Rahmah.

Kami bertemu di Mekkah. Beberapa kali kami janjian makan sama-sama, gantian saling mentraktir (padahal uang yang kami pakai semuanya dari sumber yang sama, yaitu pemberian kakak sulungku, yang berbaik hati nyangoni kami. Waktu itu aku bermaksud menukar uang rupiah ke real kepada kakakku yang bekerja di BRI. Tapi kakakku itu malah memberi cuma-cuma. Aku diberinya 140 real. Entah dengan kakak-kakakku yang lain.Terimakasih Kakak!! :D)

Bersama mereka aku mengenal nasi bukhori dan kebab. Kami juga makan baso dan yang lainnya. Kalau tidak sedang makan bersama mereka, aku dan suami makan makanan yang disediakan oleh penyelenggara haji kami di Sofitel, hotel tempat kami menginap.

Tapi makan nasi bukhori yang paling membekas di hatiku adalah ketika aku dan rombongan haji kami beristirahat di tempat peristirahatan antara Mekah dan Madinah. Sebuah perjalanan panjang yang seolah tiada habisnya, melewati sekian ratus kilometer yang melelahkan, dengan pemandangan yang ‘hanya’ itu-itu saja, yaitu pasir, bebatuan dan sesekali pepohonan mirip semak-semak yang jarang (ada beberapa tempat ditumbuhi pohon cukup rindang mirip hutan kecil yang kontras dengan pasir di sekelilingnya), dan juga beberapa kali kami melihat beberapa ekor unta. Akhirnya kami berhenti juga untuk istirahat, sholat dan makan.
Ketika turun dari bis, rasanya seperti berada di negeri antah berantah.
Di sana, kami wudlu dengan air yang sepertinya diambil dari laut karena rasanya asin. Setelah sholat kamipun makan nasi bukhori.

Aku dan teman-teman wanita (ruang makan pria dan wanita dipisah) memakannya beramai-ramai, sambil bercanda, tertawa dan berbagi suka duka. Ada yang sepiring berdua, ada yang bertiga. Karena porsinya sangat banyak –piringnya mirip tampah kecil- tak mungkin salah satu dari kami menghabiskannya sendirian. Padahal pada saat itu aku yang hamil banyak makan! Rombongan pria menyantapnya sepiring berdua. Tapi kabarnya seporsi itu pas untuk satu orang Arab.

Ingat Nasi bukhori,ingat kami telah berhaji, mengingatkan betapa bersukurnya karena Allah telah mengizinkan kami menapakkan kaki di tanah suciNya. Padahal banyak yang gagal berangkat karena berbagai sebab, termasuk karena hamil. Seperti beberapa orang tetanggaku.
Semakin kusadari betapa ibadah haji itu bukan semata karena harta, tapi lebih karena niat dan doa.

Rengekan anak-anak yang mulai rewel dan kelaparan membawa anganku kembali ke alam nyata. Ini bukan Arab Saudi! Sekarang kami masih di Bekasi dan masih belum berhasil mencari tempat makan….
Kalau karena berdoa aku dan suami bisa pergi haji, berarti mungkin karena lupa berdoa sebelum berangkat tadi, kami jadi kesulitan mencari tempat makan!!
Menyadari hal itu aku segera mengajak semuanya berdoa. Dan Alhamdulillah… tidak lama kemudian kami sudah duduk manis menunggu pesanan makanan kami datang…


Bekasi, 2007