Bandara King Abdul Aziz Jeddah, menjelang tengah malam di Januari 2007.
Saya menyandarkan diri ke bangku panjang di ruang tunggu. Menunggu pesawat yang akan membawa kembali ke tanah air. Ruang tunggu sangat ramai, penuh jamaah haji dari berbagai negara. Suasana santai, ada yang tidur-tiduran, ngobrol atau ngemil. Akhirnya selesai juga perjalanan ini. "Mission accomplished" bisik saya pada istri di samping. (Belakangan harus saya ralat. Mestinya "The adventure will be continued". Dalam penerbangan pulang, pesawat kami dihadang cuaca buruk sebagaimana telah diumumkan pilot sebelumnya. Pesawat terguncang-guncang. Berkali-kali. Bermenit-menit. Di tengah tragedy Adam air yang lamat-lamat beritanya sampai ke kami, tentu ini suatu ketegangan tersendir...)
Tiga minggu kami telah mengalami berbagai hal. Dengan tekad "Menjadikan setiap perjalanan petualangan yang mengesankan" (tentu saja di samping pahala juga), kami telah memperoleh lebih dari yang kami harap: 'Lost in Arafah'. 'Transportation teror' di Mina. Rendezvous di Mekah. Tragedi handphone. Dll. Plus bonus: setelah 10 tahun perkawinan, pergi berdua saja dengan pasanganmu untuk jangka waktu yang lama, niscaya akan memberimu pengalaman berbeda. You should try it, guys !
Ya, tiga minggu lalu kami tiba di bandara ini dengan suasana jauh berbeda. Letih karena penerbangan non stop 9 jam dari Jakarta. Tegang karena inilah "when dream come true". Sebagaimana umat Islam lain, kami telah mengidam-idamkan perjalanan ini begitu lama. Kami agak terkejut ketika mendapati bandara kelas internasional ini begitu bersahaja. Lantai semen dengan bangku-bangku keras. Kami digiring, berjajar-jajar, dari satu pemeriksaan ke pemeriksaan lain. Imigrasi dan semacamnya. Saya sempat berpikir, wah kok kita seperti tawanan ya ? (Info yang saya bahwa memang lokasi tsb khusus untuk penerimaan jamaah haji. Mungkin karena saking banyaknya jamaah haji, semua fasilitas dibuat sederhana).Petugas dari Arab sebagian berlaku ramah dan mencoba mengajak kami bertegur sapa. Tapi lebih banyak lagi yang menatap kami dengan tajam, terutama kepada jamaah wanita kami, membuat kami jengah.
Tapi ada sebab lain yang membuat kami merasa tegang.
Ada sesuatu yang saya dan istri sembunyikan: kehamilan istri saya. Ya, ketegangan perjalanan ini telah dimulai jauh-jauh hari. Ketika dalam persiapan sebelumnya kami mendapati bahwa istri saya ternyata hamil. Dan terdapat ketentuan pemerintah bahwa wanita yang hamil dilarang berhaji. Saya berunding dengan istri, dan keputusannya: misi jalan terus. Sebab belum tentu tahun depan kami bisa mendapat kesempatan sebaik sekarang. Dan tidak ada jaminan tahun depan tidak hamil lagi..
Maka segala cara terpaksa ditempuh. Antara lain untuk lolos tes kesehatan. Tidak bisa saya ungkapkan di sini. Ya Tuhan, ampunilah kami, ini sungguh terpaksa..
Di bandara Soekarno Hatta, kami bisa lolos dengan menyamarkan dandanan. Istri saya memakai jaket tebal, menggantungkan tas di tubuh bagian depan, menutupi perut yang hamil 5 bulan, dan bergabung dengan ibu-ibu yang berpostur extra large...(sepulang haji, saya mendengar seorang jamaah haji batal berangkat dari bandara Batam karena ketahuan hamil. Jadi kami termasuk beruntung )
Sekarang di bandara Jeddah, pemeriksaan dilakukan lagi oleh petugas kesehatan Arab Saudi secara sampling. Apakah pemerintah Arab juga melarang hal ini? Bagaimana kalau ketahuan ? Apakah akan dideportasi ?
Petugas kesehatan semakin dekat. Meminta buku kesehatan. Meneliti dengan cermat. Langkahnya sudah hampir sampai istri saya. Jantung saya bagai berhenti berdetak. Doa tak putus-putus kami panjatkan....
Saya menyandarkan diri ke bangku panjang di ruang tunggu. Menunggu pesawat yang akan membawa kembali ke tanah air. Ruang tunggu sangat ramai, penuh jamaah haji dari berbagai negara. Suasana santai, ada yang tidur-tiduran, ngobrol atau ngemil. Akhirnya selesai juga perjalanan ini. "Mission accomplished" bisik saya pada istri di samping. (Belakangan harus saya ralat. Mestinya "The adventure will be continued". Dalam penerbangan pulang, pesawat kami dihadang cuaca buruk sebagaimana telah diumumkan pilot sebelumnya. Pesawat terguncang-guncang. Berkali-kali. Bermenit-menit. Di tengah tragedy Adam air yang lamat-lamat beritanya sampai ke kami, tentu ini suatu ketegangan tersendir...)
Tiga minggu kami telah mengalami berbagai hal. Dengan tekad "Menjadikan setiap perjalanan petualangan yang mengesankan" (tentu saja di samping pahala juga), kami telah memperoleh lebih dari yang kami harap: 'Lost in Arafah'. 'Transportation teror' di Mina. Rendezvous di Mekah. Tragedi handphone. Dll. Plus bonus: setelah 10 tahun perkawinan, pergi berdua saja dengan pasanganmu untuk jangka waktu yang lama, niscaya akan memberimu pengalaman berbeda. You should try it, guys !
Ya, tiga minggu lalu kami tiba di bandara ini dengan suasana jauh berbeda. Letih karena penerbangan non stop 9 jam dari Jakarta. Tegang karena inilah "when dream come true". Sebagaimana umat Islam lain, kami telah mengidam-idamkan perjalanan ini begitu lama. Kami agak terkejut ketika mendapati bandara kelas internasional ini begitu bersahaja. Lantai semen dengan bangku-bangku keras. Kami digiring, berjajar-jajar, dari satu pemeriksaan ke pemeriksaan lain. Imigrasi dan semacamnya. Saya sempat berpikir, wah kok kita seperti tawanan ya ? (Info yang saya bahwa memang lokasi tsb khusus untuk penerimaan jamaah haji. Mungkin karena saking banyaknya jamaah haji, semua fasilitas dibuat sederhana).Petugas dari Arab sebagian berlaku ramah dan mencoba mengajak kami bertegur sapa. Tapi lebih banyak lagi yang menatap kami dengan tajam, terutama kepada jamaah wanita kami, membuat kami jengah.
Tapi ada sebab lain yang membuat kami merasa tegang.
Ada sesuatu yang saya dan istri sembunyikan: kehamilan istri saya. Ya, ketegangan perjalanan ini telah dimulai jauh-jauh hari. Ketika dalam persiapan sebelumnya kami mendapati bahwa istri saya ternyata hamil. Dan terdapat ketentuan pemerintah bahwa wanita yang hamil dilarang berhaji. Saya berunding dengan istri, dan keputusannya: misi jalan terus. Sebab belum tentu tahun depan kami bisa mendapat kesempatan sebaik sekarang. Dan tidak ada jaminan tahun depan tidak hamil lagi..
Maka segala cara terpaksa ditempuh. Antara lain untuk lolos tes kesehatan. Tidak bisa saya ungkapkan di sini. Ya Tuhan, ampunilah kami, ini sungguh terpaksa..
Di bandara Soekarno Hatta, kami bisa lolos dengan menyamarkan dandanan. Istri saya memakai jaket tebal, menggantungkan tas di tubuh bagian depan, menutupi perut yang hamil 5 bulan, dan bergabung dengan ibu-ibu yang berpostur extra large...(sepulang haji, saya mendengar seorang jamaah haji batal berangkat dari bandara Batam karena ketahuan hamil. Jadi kami termasuk beruntung )
Sekarang di bandara Jeddah, pemeriksaan dilakukan lagi oleh petugas kesehatan Arab Saudi secara sampling. Apakah pemerintah Arab juga melarang hal ini? Bagaimana kalau ketahuan ? Apakah akan dideportasi ?
Petugas kesehatan semakin dekat. Meminta buku kesehatan. Meneliti dengan cermat. Langkahnya sudah hampir sampai istri saya. Jantung saya bagai berhenti berdetak. Doa tak putus-putus kami panjatkan....
Akhirnya sampailah petugas itu ke istri saya. Meminta buku kesehatan, menatap sejenak. Saya menahan nafas. Dan petugas itu melangkah ke jamaah berikutnya....Lolos ! Now, they cannot stop us anymore ..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: