Minggu, 28 Februari 2010

Ketika nyawa (serasa) di ujung tanduk


Biasanya yang menjadi perumpamaan adalah, bagaikan telur diujung tanduk....

Siapa yang bisa menyangkal bahwa nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga bagi pemiliknya? Orang bilang kucing punya 9 nyawa, padahal kita tahu sebenarnya ya cuma satu.
Kita cuma punya satu, dan ketika hilang dari raga, tak ada yang bisa menggantikannya. Meninggal. Mati. Titik.

Ketika hari-hari berjalan normal, ketika semua baik-baik saja, mati sepertinya jauh dari kita. Padahal mati itu sangat dekat. Kadang datang tanpa disadari oleh orang yang akan mati dan orang-orang di sekitarnya.

Tetanggaku pergi bekerja seperti biasa, ternyata pulang tanpa nyawa. Ada orang yang tidur dengan tenang, ternyata tidak pernah bangun lagi. Ada juga yang sakit parah, namun karena ajal belum sampai, nggak mati-mati. Malah orang sehat yang merawatnya yang mati duluan. Dan masih banyak lagi contohnya bila kita mau mencermati.

Sebenarnya setiap saat nyawa bagaikan telur di ujung tanduk. seperti telur di ujung tanduk, gampang banget 'pecah'nya. Tapi kadang-kadang hanya saat-saat tertentu kita (sangat) merasakannya.

Seperti yang ku alami.

29 maret 2007, saat melahirkan anak ke 4. Sesar lagi. 3 x sebelumnya sesar juga. Sampai ada yang bilang, kok nggak dikasih resleting aja? Emang celana pakai resleting....
Sesar yang keempat ini rencananya sekalian mengangkat miom atau rahim (tergantung mana yang bisa dilakukan). Padahal kalau dipikir, 3 x sesar kan sudah pengalaman. ya 'gitu-gitu' aja. Tapi tetap saja rasa takut mencengkeram hati. Padahal 3x sebelumnya malah biasa aja rasanya. mungkin karena jaraknya dekat. Dan sesar ke4 ini akan ada penyakit yang diangkat.
Terpikir olehku, inikah akhir dari ceritaku....?

Alhamdulillah dengan izin Allah aku kembali pulang dengan bayi mungil yang lucu, walau seminggu di rumah masih harus memakai kateter karena kandung kemih tergores pisau operasi, dan penyakitnya gagal diatasi.

Lalu lebaran tahun 1429H. Rencana senang-senang mudik lebaran, malah aku dan Sekar harus masuk RS. Sekar asmanya kambuh, aku karena HB rendah. Dunia sudah gelap, suara-suara hanya terdengar seperti dari jauh dan sentuhan terasa menyakitkan. Seperti berada di negeri antah berantah...
Akankah duniaku berakhir? Aduuh... padahal dosaku masih banyak dan malah tambah banyak....
Alhamdulillah walau harus jadi vampir menghisap 2 kantong darah dari pendonor, akhirnya bisa pulang. (thanks mas Dwi Gunawan, yang telah merelakan darahnya mengaliri tubuhku...)
Kemudian tgl 13 juni 2009 , aku menjalani operasi untuk menuntaskan yang tidak bisa dilakukan ketika melahirkan anak ke 4. Aku dioperasi untuk pengangkatan rahim dan ovarium kanan plus kista kanan-kiri. Ovarium kiri ditinggal, hanya dikupas kistanya.
Karena operasinya di tempat yang sama, biusnya juga lokal, jadi seperti sesar yang kelima. (dokter Gatot Prawoto yang mengoperasi aku sempat ngomel, "siapa sih yang bikin sayatan di sini? ini terlalu kebawah. Dokternya pasti penganut model Amerika, kalau sayatannya di sini pakai bikini nggak akan keliahatan...". fyi: dokter yang mensesar utk kelahiran pertama sampai ketiga adalah dr. Lidya Liliana, Sp.Og. Anak keempat dr. Lina Meilina. Sp.Og.. semuanya di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Karena sesar dilakukan di tempat yang sama, otomatis yang berikutnya akan mengikuti bekas sayatan yang pertama.)
Malam sebelum berangkat ke RS aku tidak bisa tidur. Seperti inikah akhirnya? Apa aku akan kembali pulang ya...?
Ternyata...alhamdulillah Allah masih memberi kesempatan padaku untuk beramal. Alhamdulillah penyakitnya sudah diangkat dan aku sehat. Mudah-mudahan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah dberikanNya. Amin.

Mungkin ada saat-saat lain ketika serasa nyawa bagaikan telur di ujung tanduk. Tapi saat-saat itu yang kuingat. Padahal kalau setiap saat nyawa bisa diambil oleh pemiliknya, berarti nyawa kita selalu bagaikan telur di ujung tanduk.

Untuk masalah dunia, anggaplah nyawa kita berada di tempat yang aman, kita akan hidup 1000th lagi. artinya, apa yang tidak bisa kita kerjakan hari ini, InsyaAllah bisa kerjakan di kemudian hari. Yang gagal hari ini kita sukseskan esok hari.
Untuk masalah akhirat, pikirkan bahwa kita akan mati sebentar lagi. Maksudnya, apa yang menjadi kewajiban kita kepada Allah segeralah lakukan sebelum terlambat. Karena tidak ada remedial atau hidup susulan buat yang kurang beramal.
Nasehat ini khususnya untuk diriku sendiri....

Kadang saat malam tiba dan semua telah terlelap, kupandangi keluargaku dengan rasa syukur yang meneteskan air mata. Alhamdulillah kami masih di sini. Masih diizinkanNya untuk menjalani hidup ini dalam bahagia dan sejahtera bersama-sama, dalam cinta dan hidayahNya. Bila Allah telah menghendaki, bisa saja salah satu dari kami hanya tinggal kenangan yang hidup dalam hati..
Bila itu terjadi, akan seperti apa hidup ini, aku tidak tahu. Yang kutahu, InsyaAllah akan selalu kusyukuri dan kunikmati saat-saat Allah memberi kesempatan kami untuk bersama-sama seperti saat ini. Semoga dengan bersyukur, Allah menambah nikmatNya sehingga kami lebih lama bisa bersama-sama. Amin.


Bekasi, Februari 2010

Minggu, 14 Februari 2010

SENYUM MATAHARIKU


SENYUM MATAHARIKU

Kadangkala kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kadang juga kita mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Kita tidak dapat memilih situasi yang sedang terjadi, namun kita dapat memilih sikap dalam menghadapi apa yang sedang terjadi.

Aku adalah seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak. Yang sulung Sekar, kelas 6, perempuan. Yang kedua dan ketiga, Yudha kelas 4 dan Bagus kelas 3, laki-laki. Yang bungsu, Alya, 3 tahun, perempuan.


Pagi itu, seperti biasa aku bermaksud mengantarkan Sekar ke sekolah. Inginku jam 6.30 sudah mengantar Sekar ke sekolah. Jam 7.00 gantian mengantar Yudha Bagus. Karena Sekar masuk jam 7.00, sekolahnya agak jauh. Yudha-Bagus masuk jam 7.15 dan tempatnya lebih dekat. Tapi keinginan tinggallah keinginan. Anak-anak bukan mesin terprogram yang bisa selalu tepat waktu.

Pagi itu adalah pagi yang berantakan –begitulah menurutku. Harinya hari Sabtu, tanggalnya lupa (konon orang sanguinis tidak punya kalender di kepala). Anak-anak lelaki tidak mau bangun pagi. Alasannya karena hari itu Sabtu, hanya ekskul jadi malas ke sekolah. Sekar sudah bangun dan bersiap-siap, karena hari Sabtu KBM seperti biasa, tapi dia lupa kalau hari itu harus memakai baju pramuka, jadi kemarin baju pramukanya dimasukkan tempat cucian dan pagi itu masih basah kuyup.

Ha, aku pontang-panting mencari pinjaman baju pramuka. Alhamdulillah, dapat bajunya. Roknya terpaksa beli karena tidak ada yang bisa meminjami. Alhamdulillah ada toko kelontong dekat rumah yang menjual ‘segala macam’ barang dan buka pagi-pagi.

Berangkat ke sekolah sudah mendekati pukul 7.00. Sepertinya sepanjang jalan di kepalaku akan selalu menggantung awan mendung…. Sekar terlambat, anak-anak laki-laki belum bangun. Belum lagi Alya menangis waktu ditinggal mengantar sekolah. Sepulang mengantar Sekar masih harus membangunkan Yudha-Bagus dan mengantar mereka. Terus mau masak apa hari ini ya? Belanja apa? Belum mencuci, belum ini dan belum itu dll… Beginilah setelah aku tidak punya pembantu. Mungkin karena tidak biasa mengerjakan pekerjaan rumah, jadinya terasa sekali repotnya.

Jalanan agak padat. Aku tidak bisa tarik gas (kalau mobil tancap gas ya.. ). Lalu sambil jalan pelan-pelan aku mulai memperhatikan wajah orang-orang yang berpapasan denganku.

Waw! Ternyata banyak ragam ekspresi yang kutangkap. Ada yang terlihat penuh semangat (mungkin hari itu gajian). Ada yang serius (yang ini sepertinya mau presentasi –he, emang seperti suamiku yang serius banget kalau mau presentasi??), ada yang melamun (mungkin terkenang mimpinya semalam). Ada yang masih ngantuk (barangkali semalam kebagian ronda). Ada juga yang cemberut jelek sekali (seperti aku kali ya?). Ada juga yang tertawa-tawa mengobrol dengan temannya (yang ini anak sekolahan dan pegawai pabrikan sepertinya).

Lalu kulihat dia.

Seorang siswi SMP Putradarma. Hampir setiap pagi aku berpapasan dengannya kalau sedang mengantar Sekar. Wajahnya lembut, imut-imut, teduh, polos… apa lagi ya? cantik.


Seingatku setiap pagi yang kulihat sama. Dia naik sepeda, mengayuhnya dengan santai. Wajah lembutnya tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Hanya terlihat polos dan damai, tenang tanpa masalah. Enjoy aja…

Melihatnya walau sekilas membuatku berpikir. Sebenarnya… apa masalahku, sampai mengundang mendung di atas kepalaku? Padahal hari ini matahari masih bersinar walau sedikit tertutup mendung tipis. Padahal aku sehat dan motor juga tidak ada masalah jadi bisa mengantar Sekar ke sekolah. Padahal begitu banyak nikmat Allah melingkupiku, sementara banyak orang tidak seberuntung aku.

Sampai di sekolah, Sekar terlambat. Tapi Alhamdulillah tidak apa-apa.

Pulangnya aku mampir beli Koran untuk suamiku, di agen Koran dekat sekolah Sekar. Di sana aku dulu mengambil Koran untuk dijual, bertahun-tahun yang lalu waktu kami buka kios buku.

Si Mpok penjual Koran habis mandi. Bersih dan wangi. Ketika melihatku masuk, dia mengenaliku, tersenyum lebar dengan bibir dan matanya –mungkin tepatnya seluruh dirinya. Sumringah.


Aku terheran-heran ketika menyadari mendung di atas kepalaku mendadak sirna oleh senyumnya. Seperti gelembung sabun yang tiba-tiba pecah.

Setelah membeli Koran dan basa-basi sebentar, aku pulang dengan senyum dan matahari di atas kepalaku. Ternyata dengan senyum, hidup terasa lebih indah.

Aku bisa berpikir, memang kenapa kalau Yudha dan Bagus belum bangun? Kalaupun tidak sekolah hari ini, bukan berarti itu akhir dari dunia. Alya mungkin sekarang sudah asyik bermain dengan ayahnya sementara aku sibuk menghawatirkan tangisnya tadi saat kutinggal. Tetek bengek yang lainnya pun bisa dikerjakan pelan-pelan.

Jadi… So what gitu loh…!! Just keep on smile. Life must go on.

Masalah tetap ada. Tinggal aku mau tersenyum dan bersyukur atau cemberut dan mengeluh.


Alhamdulillah, hari itupun berlangsung dengan baik. Walau perlu perjuangan dan terlambat, Yudha-Bagus akhirnya berangkat sekolah juga. Masakan yang enak dan bergizi juga tersedia. Lain-lainnya juga berjalan cukup baik. Memang sih malam harinya kedua kaki terasa panas dan berdenyut-denyut karena lelah. Tapi aku percaya semua itu tidak sia-sia.

Ketika semua telah terlelap, kupandangi suami dan anak-anakku. Tanpa terasa aku tersenyum, yang anehnya bersamaan dengan itu, air mataku mengalir di pipi. Senyum dan air mata bahagia. Tiba-tiba saja aku menyadarinya: Aku bahagia!

Bahagia itu bukannya tidak pernah mengeluh sama sekali. Bahagia itu bukannya tidak pernah merasa susah atau kekurangan. Kusadari bahagia itu adalah ketika aku menikmati kekinian. Menikmati apa yang tengah terjadi dengan rasa syukur

Begitu banyak karunia Allah yang bisa dan wajib kusyukuri. Itu bisa kumulai dengan bersyukur pada Allah atas pemberianNya yang melekat pada ruhku, mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu kebersamaanku dengan orang-orang yang aku cintai, yang kusadari sungguh bila Allah menghendaki, salah satu dari mereka bisa jadi hanya tinggal kenangan yang hidup dalam hati. Akupun harus mensyukuri fasilitas yang kumiliki saat hidup di dunia ini.

Dan yang lebih-lebih aku syukuri adalah hidayah Allah yang menjadikan aku sebagai orang yang beriman. Karena dengan keimanan, hidupku yang hanya sekali ini punya harapan untuk bahagia di akhirat nanti.

Alhamdulillah, sekarang bila hati tergoda untuk bersedih, aku berusaha memikirkan semua nikmat Allah yang telah diberikanNya padaku, dan mensyukurinya. Kufokuskan perhatianku kepada apa yang telah kumiliki, bukan pada apa-apa yang belum kumiliki. Misalnya saat rumahku bocor, bila kulihat orang-orang dengan rumah kokoh dan megah, tentu membuat hatiku lebih merana. Tetapi bila yang kulihat adalah orang-orang yang rumahnya kebanjiran, aku bisa bersyukur karena, apalah artinya rumah bocor bila dibandingkan mereka yang rumahnya tenggelam oleh banjir?


Alhamdulillahirabbil’alamiin, bersyukurlah orang-orang yang bisa bersyukur, karena banyak orang lupa untuk bersyukur dari hati, untuk kemudian diungkapkan dengan ucapan dan perbuatannya.

Bekasi, 10 februari 2010