Rabu, 27 Agustus 2008

Lost in Arofah


LOST IN ARAFAH (1)
Dalam rangkaian haji, ada sebuah ritual yang dinamakan wuquf di Arafah. Yakni jamaah haji menuju padang Arafah untuk berdiam diri dan berdoa sampai waktu magrib tiba. Ini dilakukan secara serentak. Maka pada tanggal tsb seluruh jamaah bergerak dari Mekah, melewati Mina, ke Arafah. Mekah - Arafah kurang lebih berjarak 25 km. Usai magrib, jamaah kembali bergerak ke Mina. Inilah salah satu etape paling dramatis yang kami alami.

Untuk menuju Arafah, terdapat 2 pilihan: naik bus (istilahnya raqiban ) atau berjalan kaki ( masiyan ). Masiyan memang tidak terlalu populer bagi jamaah haji Indonesia . Namun beberapa rekan yang pernah naik haji merekomendasikan masiyan karena lebih kental nuansa spiritual dan pahalanya. Pihak biro travel memfasilitasi keduanya.

Sampai hari keberangkatan ke Arab, bahkan menjelang pelaksanaan wukuf, saya belum bisa memutuskan cara apa yang akan dipilih. Istri menginginkan masiyan, tetapi menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan saya. Masiyan mungkin lebih 'full petualangan', full pahala, tapi juga beresiko karena jarak yang ditempuh tidak main-main: pp 50 km jalan kaki ! Diperlukan fisik yang benar-benar bugar. Sementara persiapan fisik saya & istri sebelum haji tidaklah intens. Saya hanya olah raga ringan semingu 3-4 kali. Meski di sisi lain, masiyan juga ada keuntungan teknisnya yakni waktu tempuh lebih bisa diprediksi (info penyelenggara, meski hanya 25 km, bila menggunakan bus waktu tempuh bisa 8-9 jam, bahkan lebih, karena pasti macet). Bagi istri saya yg hamil, berada di bus begitu lama tentu menyulitkan apalagi kalau harus sering-sering ke toilet. Bila berjalan kaki, konon di sepanjang perjalanan terdapat fasilitas toilet dan air minum yang sangat cukup.

Jadi pilih mana, naik bus atau jalan kaki ? Duh, begini sulitnya jadi pemimpin...saya jadi ingat film "U 571". yg a.l bercerita soal kepemimpinan.
Kisahnya berlatar perang dunia II. Sebuah kapal perang Sekutu ditugaskan menyergap kapal selam Jerman yang sedang naik ke permukaan laut. Misinya adalah merebut Enigma -alat pembuat kode komunikasi- di kapal itu. Melalui penyamaran yang cerdik (& licik) penyergapan berlangsung sukses. Kapal selam Jerman berhasil dikuasai, Enigma didapat. Nampaknya misi akan berakhir gilang gemilang: mereka tinggal kembali ke kapal dan pulang ke pelabuhan Sekutu. Tapi sebuah bencana besar memupus itu semua. Saat masih di sekoci menuju kapal, tiba-tiba kapal perang Sekutu meledak dan terbakar hebat. Dan dalam sekejap, hujan peluru di mana-mana. Olala, apa yang terjadi ?

Rupanya tanpa diketahui prajurit Sekutu, sebuah kapal perang Jerman lain muncul di situ dan men-torpedo kapal Sekutu. Korban berjatuhan, termasuk komandan kapal Sekutu. Tiada pilihan, prajurit Sekutu yang tersisa berusaha secepat mungkin kembali ke kapal selam Jerman yang barusan mereka sergap dan sudah dikosongkan. Mereka cepat-cepat menyelam untuk menghindari bom laut Jerman.

Karena komandan pasukan tewas, pimpinan pasukan jatuh ke pangkat level berikutnya. Sebut saja Letnan X. Sebenarnya ada yang lebih senior, seorang veteran, sebut saja pelaut Y, tapi menolak jadi pimpinan. Terguncang oleh pupusnya kemenangan yang sudah di depan mata yang berbalik menjadi kekalahan dan terlebih-lebih karena tewasnya komandan mereka yang sangat mereka segani, sisa prajurit yang nyaris putus asa menghadap Letnan X, dan bertanya: apa yang harus di lakukan ? Mereka seperti sekumpulan anak ayam yang kehilangan induk. Di atas mereka kapal Jerman terus menghujani dengan bom laut dalam. Dan mereka berada di kapal selam Jerman yang asing. Apa jawaban Letnan X ? Sama terguncang dan putus asanya, ia menjawab:
"Kau kira aku punya semua jawab an ? Aku juga tidak tahu.. !"

Pelaut Y segera mengajak Letnan X bicara empat mata.
"Engkau akan membuat kita semua terbunuh !. Tidak peduli tahu atau tidak, jangan pernah lagi berkata di depan anak buahmu bahwa engkau tidak tahu.. !"

That's leadership. Seringkali yang dibutuhkan anak buah adalah sebuah keyakinan, keyakinan bahwa sang pemimpin akan menuntun mereka ke tujuan, memberikan arah, memberikan pengayoman. Soal tugas-tugas, m ereka tidak selalu perlu diajari karena mereka sudah ahli, bahkan bisa jadi lebih ahli dibanding sang pemimpin !

Pemimpin tidak boleh ragu-ragu memutuskan meski mungkin saja di kemudian hari keputusan tersebut ternyata tidak tepat. " I'm ever wrong, but never in doubt" . (Mungkin saya pernah salah, tapi tidak pernah ragu-ragu). Begitu yang saya dengar di radio.

Pemimpin adalah individu yang make things happen . Pemimpin efektif bukanlah selalu seseorang yang dipuja atau dicintai, namun mereka adalah individu yang menjadikan para pengikutnya berbuat benar. Kepemimpinan berbeda dengan popularitas. Kepemimpinan identik dengan pencapaian hasil (Peter Drucker)

Mendengar wejangan si Pelaut, si Letnan segera bangkit dari keterpurukannya. Perintah-perintah segera mengalir deras ke anak buahnya dengan penuh keyakinan: menambal kebocoran kapal, menyiapkan senjata dan torpedo, mengatur kedalaman penyelaman, demi melawan kapal Jerman di atas mereka...

Namun, meski sudah pernah membaca dan melihat itu semua, di sini, menjelang Arafah, saya masih bingung memutuskan mode perjalanan yang akan dipilih: raqiban atau masiyan. Pihak biro perjalanan sudah wanti-wanti, bila memutuskan berjalan kaki, maka itu berarti 'point of no return' . Artinya bila di tengah jalan tidak kuat, maka pihak penyelenggara tidak akan bisa mengevakuasi menggunakan kendaraan. Hal ini karena jalur pejalan kaki dan bus berbeda, tidak ada kendaraan yang diperkenankan lewat jalur pejalan kaki kecuali ambulans dan polisi. Janji yang betul-betul 'ditepati' penyelenggara kemudian......Dan sebuah petualangan yang tak akan saya lupakan telah menanti di depan....
-------oOo-------------------------------------will be continued
Bekasi, Minggu, 11 Okt 2007.

Referensi:
- Beyonce Leadership karangan Dr Djokosantoso Moeljono (eks dirut BRI, dirutnya mbak Nik)
- Talkshow Ramako
- Film K-571
- Pengalaman pribadi

2 komentar:

Komentar: