Selasa, 19 Agustus 2008

Djalan-djalan di Djogya



DJALAN-DJALAN DI DJOGJA


Alun-alun keraton Jogja, suatu siang yang panas di penghujung2004. Beberapa abang becak langsung mendekat begitu saya selesai memarkir kendaraan. Bermaksud berjalan kaki saja untuk melihat-lihat keraton,namun panasnya cuaca siang itu sementara saya juga bersama anak-anak, maka terpaksa saya urungkan niat. Dan astaga, abang becak tersebut menawarkan tarifhanya Rp 2.000; untuk jasa mengantar ke lokasi pembuatan batik, kaos dagadu,bakpia pathok, museum kereta, dan siti hinggil, pulang pergi !


Terbiasa oleh paranoidnya Jakarta tentu saja saya curiga, mana mungkin perjalanan ke begitu banyak tempat hanya tarif segitu, jangan-jangan inisebuah jebakan: nanti minta ongkos lebih..Tapi famili saya yg asliJogja menyiratkan untuk don't worry man ! Masih dengan sedikit keraguan,akhirnya saya menyewa 3 becak. Tempat pembuatan batik tidak terlalu menarik bagi saya, sehingga sayahanya sebentar di situ. Becak lalu melaju ke counter kaos Dagadu, salah satu trade mark Jogja. Kualitas bahannya tidak terlalu bagus, maklum harganya juga hanya berkisar 30-40 ribu, tetapi gambar dan tulisannya sungguh unik dan lucu-lucu. Diantaranya: "Tahanan Mertua: http://mail1.plasa.com/Redirect/www.menantutertindas.com " Tentu saja saya tidak mungkin membelinya, sebab waktu itu saya bareng Ibu mertua... Sayang kaos bertuliskan " http://mail1.plasa.com/Redirect/www.menantukesayangan.com " tidak ada he..he...


Sebelah counter Dagadu adalah sentra bakpia pathok dan berbagai makanan khas Jogja. Saya membeli beberapa, tetapi harganya harga 'daerahwisata'. Kalo di Kotagede -kampung istri saya- saya bisa memperoleh barang yg samadng harga yg lebih murah.


Selanjutnya adalah museum kereta, yg berisikereta-kereta kuda yg pernah dipakai pihak keraton Jogja. Sayang sekalitidak tersedia deskripsi maupun informasi yg cukup mengenai sejarah keretatersebut sehingga kereta-kereta tersebut serasa tidak lebih dari sekumpulan alat transportasi tempo doeloe. Beberapa diantaranya sangat indah yg mungkindulu jadi kendaraannya para pangeran. Ada juga ambulan tempo doeloe alias kereta jenazah. Mengingat seluruh benda tsb sudah berumur tua sehingga agaksedikit menimbulkan sugesti angker.


Tempat terakhir yg saya kunjungi adalah SitiHinggil di dalam keraton, yakni sebuah tempat rakyat untuk sowan/menghadap raja. Sama juga, tidak tersedia informasi yg memadai mengenaibangunan-bangunan dan objek bersejarah di situ.


Sepanjang dari satu lokasi ke lokasi lain para abang becak ini samasekali tidak terburu-buru, dengan sabar menunggu kami untuk melihat-lihatsepuasnya. Di akhir perjalanan, abang becak ternyata betul hanya meminta ongkos Rp2.000; tapi tentu saja saya cukup berperikemanusiaan untuk memberi ongkos lebih. Informasi yg saya peroleh, mereka akan mendapat tip dari counter yg dikunjungi penumpangnya, dan diantara abang becak ini sudah ada semacam kesepakatan untuk menjaga citra, misalnya dengan tidak meminta ongkos lebih darikesepakatan. Sebuah contoh organisasi profesi yg berhasil mengatur dirinya sendiri



!-----------------------------------oOo-------------------------------------



Di hari lain, saya berkesempatan mengunjungi museum Dirgantara TNI AU.Berisi puluhan pesawat terbang yg pernah dimiliki Indonesia. Koleksi yg palinghebat adalah sebuah pesawat pembom strategis TU-16 buatan pabrik pesawatTupolev Rusia. Pesawat ini dibeli Indonesia dalam rangka persiapan merebutkembali Irian Barat tahun 60-an.

Seingat saya di majalah Angkasa pernah ditulis,Indonesia adalah salah satu negara di luar Rusia yg pertama-tama diijinkan membeli pesawat ini. Terlihat begitu besar dan garang terparkir dipelataran museum dengan 2 rudal besar di cantelan sayapnya. Bisa dibayangkanberapa ton bom yg bisa diangkutnya mengingat pesawat segede itu memang hanya digunakan untuk membawa bom dan rudal. Konon salah satu yang menyebabkan Belanda pilih angkat kaki dari Irian tanpa terjadi perang terbuka adalah setelah mengetahui Indonesia memiliki 2 skadron (24 pesawat) TU-16 !


Entah bagaimana parapenerbang Indonesia di tahun 60-an sudah memiliki kemampuan menerbangkan pembom raksasa ini. Sekedar catatan, Indonesia tidak pernah lagimemiliki pembom strategis pasca TU-16. Memang kita memiliki F-16 dari AS (dan belakangan Sukhoi dari Rusia) , tetapi itu adalah pembom tempur taktis yg ukurannya tidak ada apa-apanya denganTU-16.


Di dalam gedung museum, koleksi lain yg cukup menarik adalah deretan pesawat eks PD II, MIG 17 - 21 buatan Rusia, juga reruntuh pesawat DakotaIndonesia yg ditembak Belanda saat membawa obat-obatan dari Burma. Juga diorama ygmenggambarkan operasi Trikora dalam perebutan Irian.

Sejenak saya termenung di sebuah papan marmer bertuliskan berpuluh-puluh nama prajurit/sukarelawan yang gugur di Irian. Ah siapakah ini, anak-anak muda yg rela meninggalkan keluarga, orang tua, pacar, istri, untuk menuju suatu tempat di mana akhirnya mereka kehilangan satu-satunya milik mereka yg paling berharga yakni nyawa mereka...mati dalam hutan-hutan sunyi di Irian atas nama nasionalisme,cinta tanah air dan bela negara yang barangkali terdengar absurd di jaman kitayang hedonis ini.


Sejenak perasaan respek dan hormat menyelimuti saya memandang deretan nama tersebut. Barangkali seperti yg diucapkan prajurit AS dalam film "Blackhawk Down" yang diambil dari kisah nyata pertempuran di Somalia, "Ketika sebuah peluru telah mengarah kepadamu, maka politik dan segalanya ini tidak berarti lagi. Semua telah berakhir"...Dan kinimereka semua telah berakhir, tinggal deretan nama di papan marmer...--------------------------



Masih begitu banyak tempat menarik di Jogja. Hari-hari yg merangkak pelan. Makan malam lesehan di pinggir-pinggir jalan yang ngangeni. Komunitas mahasiswa yg mengingatkan romantika kuliah. Memang Jogja seperti tulisandi kaos Dagadu "Everyday is weekend in Jogja".....ah----oOo------ -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar: