Kamis, 21 Agustus 2008

Debu Luruh di Kaliurang




Debu luruh di Kaliurang


Daya tarik apakah yang membuat pendaki gunung rela bersusah payah menerabas semak, menuruni tebing, memintas lembah dan bukit, hanya untuk sampai ke puncak gunung yang sunyi, asing, dan menghanyutkan ?
Padahal marabahaya yang mengancam dalam perjalanan semacam itu tidaklah kecil. Pendaki gunung dan penjelajah hutan sekaliber Norman Edwin dan Didik Samsu sekalipun akhirnya kehilangan nyawa dalam pendakian yang akhirnya menjadi petualangan terakhirnya. Norman Edwin adalah pendaki senior, pernah menjadi wartawan Kompas, dan salah satu awak perahu dalam pengarungan perahu phinisi Nusantara. Pengalaman dan kemampuannya dalam penjelajahan tak perlu diragukan.

Didik dan Norman tergabung dalam tim Seven Summit Expedition 1992 Mapala UI, sebuah ekspedisi penaklukan 7 puncak-puncak tertinggi dunia . Dalam upaya menaklukkan gunung Aconcagua di Amerika Selatan, tim ini diserang badai salju. Norman dan Didik akhirnya tidak pernah sampai puncak. Keduanya ditemukan mati dalam beku di lokasi terpisah. Norman tinggal 200 meter lagi menjelang puncak. Salah satu mayat ditemukan dalam posisi duduk seperti orang sedang istirahat. Sungguh kematian yang tak terceritakan. Ironisnya Norman adalah penulis buku "Mari Mendaki Gunung dengan Aman dan Nyaman"?

Ada satu buku tentang tragedi dalam pendakian gunung berjudul "Into thin air" yang membuat saya mual setelah membacanya. Buku ini mengisahkan pendakian gunung Himalaya oleh wartawan AS melalui jasa pemandu professional yang berakhir dengan tragedi: satu per satu pendaki tewas terjebak badai salju. Jangan grogi, saya membacanya dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia?

Namun bagi yang pernah mendaki gunung, barangkali sepakat bahwa memang ada suatu perasaan lain, suatu sensasi yang menentramkan jiwa saat berhadapan dengan tebing-tebing tinggi, jurang dalam, dan bukit-bukit terjal ?segala hal ciptaan-Nya yang berdimensi serba raksasa dibanding manusia-. Manusia tiba-tiba seperti mengecil dan problem yang dihadapinya menjadi 'bukan apa-apa'. Bukankah kita ini ibarat hanya sebutir pasir dari perjalanan alam raya yang panjang ini ? Jadi masalah yang manusia hadapi: kegagalan, kejatuhan, patah hati, atau kesuksesan, stasi, kekayaan yang diraih, semua hanyalah a little part of the long-long journey of the world?

Bagi kita yang hidup di kota sebesar Jakarta, sejenak kontemplasi saat berhadapan dengan ciptaan-Nya yang serba raksasa tadi barangkali bisa menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang lelah didera mantra "sukses", "kaya", "uang" yang dipompakan ke pikiran kita setiap saat. Kalau ke Gramedia cobalah iseng-iseng ke komputer katalognya dan ketikkan kata kunci "kaya" di software pencari. Dan temukan entah berapa lusin buku dengan judul demikian.

Karena itulah ketika mendengar kabar gunung Merapi meletus dan di Kompas terpampang foto-foto banjir lahar panas menyapu desa Kaliadem, langsung terbetik dalam hati untuk suatu saat mengunjunginya. Foto-foto itu sungguh dahsyat, tetapi pengalaman menunjukkan kalau melihat langsung ke lokasi, foto tidaklah mampu menggambarkan 100% yang sesungguhnya?.

Dan begitulah.
Juli 2006. Saya mengunjungi Jogja pasca Gempa. Antonov saya tersengal-sengal mendaki lereng Kaliurang. Dari kejauhan tampak puncak Merapi yang tegak (karena gunung ini sering meletus, maka puncaknya berbentuk runcing). Samar-samat terlihat lapisan debu dan lahar seperti salju di sepanjang punggung Merapi. Sebenarnya ada beberapa pintu masuk untuk mendekat ke Merapi, antara lain Kaliadem (tempat terjadinya luncuran lahar panas yang menewaskan 2 sukarelawan) dan Kaliurang. Saya memilih Kaliurang karena ini tempat wisata sehingga infrastrukturnya lebih baik dan bertahun-tahun lalu, sekitar 1994 saya pernah mengunjunginya dan ingin tahu bagaimana kondisinya sekarang.
Tetapi apa yang terjadi ? Kaliurang seperti kawasan mati. Tempat ini dalam kondisi normal adalah seperti Puncak-nya Bogor. Hotel, penginapan, warung mendominasi bangunan di sana. Tetapi siang itu, saya hampir-hampir tidak berjumpa seorang pun. Pintu-pintu penginapan terkunci rapat. Warung-warung tutup. Debu luruh di mana-mana: menyelimuti dedaunan, jalanan, rerumputan. Hanya seorang nenek berjualan buah-buah usang di suatu sudut ditemani seekor anjing. Kemudian penjual foto-foto Merapi. Tanpa pembeli. Beberapa orang duduk-duduk kongkow, tapi mereka tidak mengacuhkan kami. Di pelataran parkir yang sebenarnya merupakan terminal angkutan umum, selain Antonov saya, hanya ada sebuah Boeing (baca: Kijang) berplat B. Sama-sama turis kesasar.
Tetapi ternyata semua akses masuk untuk mendekat ke Merapi telah dibarikade. Tertutup bagi pengunjung karena masih berbahaya. Dengan kecewa karena gagal menyaksikan dahsyatnya lahar Merapi saya memutuskan pulang. Saat kami beranjak ke mobil, seorang penduduk setempat membisikkan sesuatu yang membuat terperanjat: tawaran memandu ke Merapi dengan menyelundup melalui Kaliadem. Oh, sungguh tawaran yang menggoda...Tapi apa boleh buat, akal sehat harus dikedepankan. Rombongan saya banyak anak-anak kecil dan pemerintah sendiri telah melarang pengunjung untuk masuk lebih jauh. Waktu itu kondisi Merapi masih dianggap berbahaya. Dengan hati berat kami menolak tawaran itu..
Dengan lunglai, Antonovpun meluncur turun dengan tekad suatu saat nanti Insya Allah saya akan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar: