Sabtu, 30 Agustus 2008

Tempat-tempat tak terkunjungi

Berkali-kali ke Jogja, tapi ada beberapa tempat yg sampai sekarang belum sempat juga saya kunjungi yakni IKIP Jogja, Dinas Kesehatan, dan rumah kos di sekitar RS Sardjito. Itu adalah lokasi di mana dulu saya test tahap ke-2 untuk masuk STT Telkom.

Mengapa saya sangat ingin berkunjung ke tempat itu ?
Ijinkanlah saya berkisah. Saya ingin ke tempat-tempat tsb bukan karena nostalgia yg sentimentil. Bukan karena perasaan 'glorying the past' (sikap mengagung-agungkan masa lalu). Bukan. Saya ingin ke sana karena begitu monumentalnya peristiwa-peristiwa seputar masa itu dan saya ingin merasakan kembali atmosfirnya.
---------oOo-----------------------------------------------------------------------------------------------

Syahdan ketika itu th 1991, selepas SMA menjadi saat-saat yang genting, krn keputusan yg diambil akan mempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya. Kalau sebagian besar teman di kelas 3 SMAN 1 Sragen antusias mempersiapkan diri menghadapi UMPTN, saya justru berada dalam kegalauan. Waktu itu secara bersamaan saya lulus SMA, adik lulus SMP, dan adik satunya lagi lulus SD. Suatu kondisi yg berat bagi Bapak saya yg pegawai negeri golongan II B untuk membiayai kami bertiga masuk sekolah baru, padahal satu kakak lagi masih kuliah di UNS Solo. Karena itulah saya memantapkan hati untuk tidak mendaftar ke UMPTN dng rencana saya akan cari kerja dulu, baru nanti kalau ada kesempatan sambil kuliah. Suatu keputusan yg menimbulkan 'feel guilty' bagi kakak saya yg di UNS, sehingga pada hari terakhir pendaftaran UMPTN saya didesak untuk daftar. Tapi saya tetap bersikukuh tidak mendaftar.

Heroik ya ? Tidak juga. Saya gak daftar juga karena sedikit trauma. Satu kakak saya yg sudah lulus bertahun-tahun lalu dari Fakultas Peternakan UGM (dan mungkin merupakan sarjana pertama di kecamatan kami (!)) masih menganggur. Saya ngeri membayangkan jadi sarjana yg pengangguran, dng beban moril yg besar.

Tapi ternyata Tuhan menggariskan jalan hidup yg lain. Kakak yg lain (wah, kakak lagi, banyak banget? Ya, saya 8 bersaudara) yg jadi PNS di Demak, suatu hari pulang kampung dng membawa buku pendaftaran masuk STT milik adik iparnya. Sekolah baru itu menjanjikan suatu hal yg diimpikan setiap orang seperti saya: uang saku, jaminan pekerjaan, dan kuliahnya gratis ! Meski saya sempat lemas membaca biaya pertama sebesar Rp 1 juta.

Akhirnya saya daftar juga bersama sekitar lima belasan teman SMA. Sekitar sepuluh orang lolos tahap pertama. Hampir seluruhnya teman sekelas dari 3A1. SMA saya membuat pengelompokan kelas berdasarkan nilai NEM saat masuk. NEM dirangking, kemudian 40 besar teratas masuk kelas 1A, 40 berikutnya masuk kelas 1B dst. sampai kelas terakhir yaitu H. Suatu sistem yg hanya menghargai kepintaran akademis semata, yg membuat anak-anak kelas A merasa sbg 'superior' dan anak-anak kelas H seperti kelas 'sisa'. Tak heran saat kenaikan ke kelas 2, hampir 100% anak kelas A masuk ke jurusan yg waktu itu dianggap paling favorit yakni A1, dan anak-anak kelas H 'terpaksa' masuk ke jurusan A3.

Bagi saya pribadi, ini juga jadi 'tragedi' kecil. Menjadi langganan juara (sbgmn anak2 STT lain) dan 10 besar saat SD dan SMP, saya mati angin saat SMA. Bersaing dng para best of the best, membuat begitu susahnya untuk bisa masuk 10 besar..

Maka sangat wajar kalau yg lolos tahap pertama hampir seluruhnya dari kelas saya . Kami berombongan ke Jogja untuk ikut test tahap kedua: kesehatan, psikologi, diskusi dll. Di antara kami adalah para 'jawara' kelas, anak-anak yg hampir selalu masuk 10 besar (kecuali saya tentunya he..he...). Dng menumpang di tempat kost kakak salah seorang rekan yg kuliah di Jogja, kami mencoba peruntungan kami.

Dan ketika tahap kedua diumumkan, separuh dari kami rontok...tetapi nama saya tercantum di antara mereka yg lulus..uughhhhh ! Saya lulus !
Bagaimana bisa ?Sementara teman-teman saya, para juara kelas rontok ! Huh, siapa yg terbaik sekarang ? Begitu batin saya, sombong. Dan mimpi saya akan pergi ke Bandung, sekolah gratis, uang saku, jaminan pekerjaan, dan masa depan yg lebih baik akan terkabul.
Ini bagaikan suatu (maaf) orgasme yg penuh, sempurna, dan total..... ! (aduh, maaf banget...sulit untuk cari kata-kata analogi lain yg pas. Maaf untuk yg jarang-jarang mengalami..:-).

Karena itu, kalau sebagian teman STT yg juga diterima di UI, ITB, Akmil, STAN dll sempat bimbang mana yg akan dipilih, maka saya dng tidak ragu-ragu ibaratnya menyatakan "pejah gesang nderek STT"...
-------oOo-------------------------------------------------

Barangkali ini representasi juga dari kisah sebagian anak STT Telkom yg lain. Masuk ke STT barangkali bagi saya (yg untuk bisa bayar satu juta rupiah-pun harus jual tanah) dan (dng tidak mengurangi rasa hormat) mungkin sebagian anak STT lain adalah salah satu pencapaian 'tertinggi' dalam perjalanan hidup. Ini bagaikan suatu 'wild card'* untuk masuk ke gerbang migrasi sosial, dari kaum 'the have no' (kaum papa) menjadi bagian dari 'the haves' (kaum berpunya).

Bayangkan tanpa keberuntungan, golongan 'the have no' hampir pasti akan kalah dng mereka yg dari 'the haves'. Tanpa KKN-pun, 'the haves' unggul segala-galanya: gizi yg lebih baik, buku dan sarana pendukung yg lebih lengkap, networking dll. Jadi saya merasa ini lebih karena kami beruntung, karena kami pas berada di tempat dan jaman yg tepat, karena berkah dari yang Maha Kuasa, dan bukan karena kami hebat !

Apalagi dng kondisi sekarang, di mana untuk masuk PTN-pun biayanya begitu besar. Hampir-hampir bisa dipastikan, akan semakin sedikit yg memperoleh kesempatan untuk bisa melakukan migrasi sosial. Jadi bisa dibayangkan betapa beruntungnya kami saat itu.....
--------oOo------------

Waktu berlalu. Ingatan akan keberhasilan dan keberuntungan tersebut pelan-pelan mulai pudar. Saya mulai terhanyut pada pikiran-pikiran ketidakpuasan. Mulai mudah menggerutu akan kurangnya fasilitas. Terperangkap dng pikiran-pikiran negatif. Kadang-kadang mulai mempertanyakan 'hakekat perjuangan', ketika merasa sudah memberikan yg terbaik (tentu saja klaim ini sangat subjektif dan sepihak), tetapi merasa imbal baliknya tidak sepadan.

Dan mulai merasa apa yg saya dapat tiap bulan adalah suatu hak yg memang semestinya harus saya terima. Harta yg saya miliki memang sudah hak saya. Tidak lagi merasa bahwa itu merupakan karunia. Mulai lupa bagaimana dulu betapa susah payah cara mendapatkannya. Dan tidak sadar betapa beribu-ribu orang di luar sana dng kemampuan berlipat kali lebih baik ingin masuk ke sini.

Mungkin kita memang cenderung mengabaikan dan meremehkan apa yg sebelumnya dng susah payah kita dapatkan justru setelah hal tersebut di tangan kita. Mungkin pekerjaan. Mungkin kendaraan. Mungkin pasangan....Dan kita baru akan menyadari betapa berharganya sesuatu itu setelah kita benar-benar kehilangannya...

Karena itulah betapa saya ingin mengunjungi tempat di mana dulu dng susah payah memperoleh 'wild card' ini untuk kembali menyadari betapa beruntungnya saya.......
-------------------------------------------------------------------------------------------------------oOo-------------------

Ket: *wild card: suatu keistimewaan/fasilitas yg diberikan kepada pemain tenis untuk ikut pertandingan tanpa melalui babak penyisihan atau mengikuti suatu turnamen meski secara peringkat sebenarnya ia tidak berhak. Biasanya diberikan kepada pemain tuan rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar: