Senin, 18 Agustus 2008

Nasi Bukhori




Bulan puasa telah berjalan selama beberapa hari. Seperti biasanya bulan puasa, menu buka puasa terdiri dari kolak, es buah dan lain-lainnya.

Bosan dengan masakan di rumah, kamipun memutuskan untuk makan di luar. Setelah sholat maghrib kami berangkat.

Langit Bekasi telah gelap ketika kami menyusuri jalanan dengan isuzu panther kami, yang oleh suamiku lebih sering disebut sebagai ‘antonov’, karena menurutnya ketangguhan dan keberisikan panther kami seperti pesawat antonov buatan rusia yang mampu membawa pesawat ulang-alik di punggungnya –dalam hal ini panther kami mempu mengangkut suamiku, aku, keempat anak kami dan seorang pembantu..hehe.

Lampu-lampu jalan dan kendaraan silih berganti menerangi, kadang-kadang menyilaukan mata. Entah berapa kilometer sudah kami tempuh, ternyata rumah makan, restoran sampai warung-warung tenda yang kami lewati telah penuh oleh orang-orang yang berbuka puasa. Dalam hati aku berpikir, kenapa sih mereka semua buka puasa di luar rumah…?
Segelas kolak yang kusantap saat adzan maghrib tadi tak cukup membuat perutku berhenti keroncongan.

Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali makan nasi bukhori. Terbayang di depan mataku nasi berwarna kuning, dengan lauk ayam bakar, cabe hijau besar dan irisan jeruk nipis…. Hemmm… air liurku sulit dibendung.

Aku mengenal Nasi Bukhori ketika pergi berhaji thn 2006. Alhamdulillah ketika itu aku dan suami dapat berangkat ke tanah suci. Padahal aku sedang hamil 6 bulan. Dan alhamdulillah, bersama kami, walau dari daerah dan kloter yang berbeda, berangkat juga 2 orang kakakku. Yang seorang kakak laki-lakiku dari Surabaya, seorang lagi kakak perempuanku dari Jakarta (walau tinggalnya di Bandung), bersama suaminya. Aku dan suami dari Jakarta juga, tapi dengan KBIH plus bernama Wisata Rahmah.

Kami bertemu di Mekkah. Beberapa kali kami janjian makan sama-sama, gantian saling mentraktir (padahal uang yang kami pakai semuanya dari sumber yang sama, yaitu pemberian kakak sulungku, yang berbaik hati nyangoni kami. Waktu itu aku bermaksud menukar uang rupiah ke real kepada kakakku yang bekerja di BRI. Tapi kakakku itu malah memberi cuma-cuma. Aku diberinya 140 real. Entah dengan kakak-kakakku yang lain.Terimakasih Kakak!! :D)

Bersama mereka aku mengenal nasi bukhori dan kebab. Kami juga makan baso dan yang lainnya. Kalau tidak sedang makan bersama mereka, aku dan suami makan makanan yang disediakan oleh penyelenggara haji kami di Sofitel, hotel tempat kami menginap.

Tapi makan nasi bukhori yang paling membekas di hatiku adalah ketika aku dan rombongan haji kami beristirahat di tempat peristirahatan antara Mekah dan Madinah. Sebuah perjalanan panjang yang seolah tiada habisnya, melewati sekian ratus kilometer yang melelahkan, dengan pemandangan yang ‘hanya’ itu-itu saja, yaitu pasir, bebatuan dan sesekali pepohonan mirip semak-semak yang jarang (ada beberapa tempat ditumbuhi pohon cukup rindang mirip hutan kecil yang kontras dengan pasir di sekelilingnya), dan juga beberapa kali kami melihat beberapa ekor unta. Akhirnya kami berhenti juga untuk istirahat, sholat dan makan.
Ketika turun dari bis, rasanya seperti berada di negeri antah berantah.
Di sana, kami wudlu dengan air yang sepertinya diambil dari laut karena rasanya asin. Setelah sholat kamipun makan nasi bukhori.

Aku dan teman-teman wanita (ruang makan pria dan wanita dipisah) memakannya beramai-ramai, sambil bercanda, tertawa dan berbagi suka duka. Ada yang sepiring berdua, ada yang bertiga. Karena porsinya sangat banyak –piringnya mirip tampah kecil- tak mungkin salah satu dari kami menghabiskannya sendirian. Padahal pada saat itu aku yang hamil banyak makan! Rombongan pria menyantapnya sepiring berdua. Tapi kabarnya seporsi itu pas untuk satu orang Arab.

Ingat Nasi bukhori,ingat kami telah berhaji, mengingatkan betapa bersukurnya karena Allah telah mengizinkan kami menapakkan kaki di tanah suciNya. Padahal banyak yang gagal berangkat karena berbagai sebab, termasuk karena hamil. Seperti beberapa orang tetanggaku.
Semakin kusadari betapa ibadah haji itu bukan semata karena harta, tapi lebih karena niat dan doa.

Rengekan anak-anak yang mulai rewel dan kelaparan membawa anganku kembali ke alam nyata. Ini bukan Arab Saudi! Sekarang kami masih di Bekasi dan masih belum berhasil mencari tempat makan….
Kalau karena berdoa aku dan suami bisa pergi haji, berarti mungkin karena lupa berdoa sebelum berangkat tadi, kami jadi kesulitan mencari tempat makan!!
Menyadari hal itu aku segera mengajak semuanya berdoa. Dan Alhamdulillah… tidak lama kemudian kami sudah duduk manis menunggu pesanan makanan kami datang…


Bekasi, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar: