Minggu, 14 Februari 2010

SENYUM MATAHARIKU


SENYUM MATAHARIKU

Kadangkala kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kadang juga kita mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Kita tidak dapat memilih situasi yang sedang terjadi, namun kita dapat memilih sikap dalam menghadapi apa yang sedang terjadi.

Aku adalah seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak. Yang sulung Sekar, kelas 6, perempuan. Yang kedua dan ketiga, Yudha kelas 4 dan Bagus kelas 3, laki-laki. Yang bungsu, Alya, 3 tahun, perempuan.


Pagi itu, seperti biasa aku bermaksud mengantarkan Sekar ke sekolah. Inginku jam 6.30 sudah mengantar Sekar ke sekolah. Jam 7.00 gantian mengantar Yudha Bagus. Karena Sekar masuk jam 7.00, sekolahnya agak jauh. Yudha-Bagus masuk jam 7.15 dan tempatnya lebih dekat. Tapi keinginan tinggallah keinginan. Anak-anak bukan mesin terprogram yang bisa selalu tepat waktu.

Pagi itu adalah pagi yang berantakan –begitulah menurutku. Harinya hari Sabtu, tanggalnya lupa (konon orang sanguinis tidak punya kalender di kepala). Anak-anak lelaki tidak mau bangun pagi. Alasannya karena hari itu Sabtu, hanya ekskul jadi malas ke sekolah. Sekar sudah bangun dan bersiap-siap, karena hari Sabtu KBM seperti biasa, tapi dia lupa kalau hari itu harus memakai baju pramuka, jadi kemarin baju pramukanya dimasukkan tempat cucian dan pagi itu masih basah kuyup.

Ha, aku pontang-panting mencari pinjaman baju pramuka. Alhamdulillah, dapat bajunya. Roknya terpaksa beli karena tidak ada yang bisa meminjami. Alhamdulillah ada toko kelontong dekat rumah yang menjual ‘segala macam’ barang dan buka pagi-pagi.

Berangkat ke sekolah sudah mendekati pukul 7.00. Sepertinya sepanjang jalan di kepalaku akan selalu menggantung awan mendung…. Sekar terlambat, anak-anak laki-laki belum bangun. Belum lagi Alya menangis waktu ditinggal mengantar sekolah. Sepulang mengantar Sekar masih harus membangunkan Yudha-Bagus dan mengantar mereka. Terus mau masak apa hari ini ya? Belanja apa? Belum mencuci, belum ini dan belum itu dll… Beginilah setelah aku tidak punya pembantu. Mungkin karena tidak biasa mengerjakan pekerjaan rumah, jadinya terasa sekali repotnya.

Jalanan agak padat. Aku tidak bisa tarik gas (kalau mobil tancap gas ya.. ). Lalu sambil jalan pelan-pelan aku mulai memperhatikan wajah orang-orang yang berpapasan denganku.

Waw! Ternyata banyak ragam ekspresi yang kutangkap. Ada yang terlihat penuh semangat (mungkin hari itu gajian). Ada yang serius (yang ini sepertinya mau presentasi –he, emang seperti suamiku yang serius banget kalau mau presentasi??), ada yang melamun (mungkin terkenang mimpinya semalam). Ada yang masih ngantuk (barangkali semalam kebagian ronda). Ada juga yang cemberut jelek sekali (seperti aku kali ya?). Ada juga yang tertawa-tawa mengobrol dengan temannya (yang ini anak sekolahan dan pegawai pabrikan sepertinya).

Lalu kulihat dia.

Seorang siswi SMP Putradarma. Hampir setiap pagi aku berpapasan dengannya kalau sedang mengantar Sekar. Wajahnya lembut, imut-imut, teduh, polos… apa lagi ya? cantik.


Seingatku setiap pagi yang kulihat sama. Dia naik sepeda, mengayuhnya dengan santai. Wajah lembutnya tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Hanya terlihat polos dan damai, tenang tanpa masalah. Enjoy aja…

Melihatnya walau sekilas membuatku berpikir. Sebenarnya… apa masalahku, sampai mengundang mendung di atas kepalaku? Padahal hari ini matahari masih bersinar walau sedikit tertutup mendung tipis. Padahal aku sehat dan motor juga tidak ada masalah jadi bisa mengantar Sekar ke sekolah. Padahal begitu banyak nikmat Allah melingkupiku, sementara banyak orang tidak seberuntung aku.

Sampai di sekolah, Sekar terlambat. Tapi Alhamdulillah tidak apa-apa.

Pulangnya aku mampir beli Koran untuk suamiku, di agen Koran dekat sekolah Sekar. Di sana aku dulu mengambil Koran untuk dijual, bertahun-tahun yang lalu waktu kami buka kios buku.

Si Mpok penjual Koran habis mandi. Bersih dan wangi. Ketika melihatku masuk, dia mengenaliku, tersenyum lebar dengan bibir dan matanya –mungkin tepatnya seluruh dirinya. Sumringah.


Aku terheran-heran ketika menyadari mendung di atas kepalaku mendadak sirna oleh senyumnya. Seperti gelembung sabun yang tiba-tiba pecah.

Setelah membeli Koran dan basa-basi sebentar, aku pulang dengan senyum dan matahari di atas kepalaku. Ternyata dengan senyum, hidup terasa lebih indah.

Aku bisa berpikir, memang kenapa kalau Yudha dan Bagus belum bangun? Kalaupun tidak sekolah hari ini, bukan berarti itu akhir dari dunia. Alya mungkin sekarang sudah asyik bermain dengan ayahnya sementara aku sibuk menghawatirkan tangisnya tadi saat kutinggal. Tetek bengek yang lainnya pun bisa dikerjakan pelan-pelan.

Jadi… So what gitu loh…!! Just keep on smile. Life must go on.

Masalah tetap ada. Tinggal aku mau tersenyum dan bersyukur atau cemberut dan mengeluh.


Alhamdulillah, hari itupun berlangsung dengan baik. Walau perlu perjuangan dan terlambat, Yudha-Bagus akhirnya berangkat sekolah juga. Masakan yang enak dan bergizi juga tersedia. Lain-lainnya juga berjalan cukup baik. Memang sih malam harinya kedua kaki terasa panas dan berdenyut-denyut karena lelah. Tapi aku percaya semua itu tidak sia-sia.

Ketika semua telah terlelap, kupandangi suami dan anak-anakku. Tanpa terasa aku tersenyum, yang anehnya bersamaan dengan itu, air mataku mengalir di pipi. Senyum dan air mata bahagia. Tiba-tiba saja aku menyadarinya: Aku bahagia!

Bahagia itu bukannya tidak pernah mengeluh sama sekali. Bahagia itu bukannya tidak pernah merasa susah atau kekurangan. Kusadari bahagia itu adalah ketika aku menikmati kekinian. Menikmati apa yang tengah terjadi dengan rasa syukur

Begitu banyak karunia Allah yang bisa dan wajib kusyukuri. Itu bisa kumulai dengan bersyukur pada Allah atas pemberianNya yang melekat pada ruhku, mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu kebersamaanku dengan orang-orang yang aku cintai, yang kusadari sungguh bila Allah menghendaki, salah satu dari mereka bisa jadi hanya tinggal kenangan yang hidup dalam hati. Akupun harus mensyukuri fasilitas yang kumiliki saat hidup di dunia ini.

Dan yang lebih-lebih aku syukuri adalah hidayah Allah yang menjadikan aku sebagai orang yang beriman. Karena dengan keimanan, hidupku yang hanya sekali ini punya harapan untuk bahagia di akhirat nanti.

Alhamdulillah, sekarang bila hati tergoda untuk bersedih, aku berusaha memikirkan semua nikmat Allah yang telah diberikanNya padaku, dan mensyukurinya. Kufokuskan perhatianku kepada apa yang telah kumiliki, bukan pada apa-apa yang belum kumiliki. Misalnya saat rumahku bocor, bila kulihat orang-orang dengan rumah kokoh dan megah, tentu membuat hatiku lebih merana. Tetapi bila yang kulihat adalah orang-orang yang rumahnya kebanjiran, aku bisa bersyukur karena, apalah artinya rumah bocor bila dibandingkan mereka yang rumahnya tenggelam oleh banjir?


Alhamdulillahirabbil’alamiin, bersyukurlah orang-orang yang bisa bersyukur, karena banyak orang lupa untuk bersyukur dari hati, untuk kemudian diungkapkan dengan ucapan dan perbuatannya.

Bekasi, 10 februari 2010

2 komentar:

Komentar: